Dinamika Organisasi Muhammadiyah Dalam Perebutan Pengaruh Massa Di Kabupaten Rembang Tahun 1960-2000 (PSJ-2)

A. Latar Belakang
Organisasi massa Muhammadiyah merupakan salah satu pergerakan Islam yang pertama dengan bentuk modern dalam era kolonial Belanda. Keberadaan organisasi Muhammadiyah, sebuah organsasi yang didirikan oleh K.H Ahmad Dahlan pada tanggal 18 November 1912 di Yogyakarta, semakin besar dan diakui masyarakat akibat adannya restu pemerintah kolonial Belanda. Pergerakan ini mendapatkan statusnya sebagai organisasi yang berbadan hukum (Recht Person) lewat surat ketetapan Gouvernement Besluit yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Yogyakarta (Algemene Secretarie, 22 Agustus 1914: No 81). Surat ini keluar setelah Muhammadiyah mengajukan permohonan dan memenuhi persyaratan sebagai badan hukum dengan terlebih dahulu mengajukan anggaran dasar, sekalipun dalam realitasnya anggaran dasar Muhammadiyah ketika itu sifatnya masih sangat sederhana (Pasha dan Darban, 2003:171). 


Dengan demikian tidak mengherankan bila pada tahun 1920-an munculnya cabang-cabang organisasi massa Muhammadiyah di daerah-daerah akibat status resmi Muhammadiyah, ditambah dengan izin perluasan wilayah gerakan organisasi ini ke seluruh wilayah Hindia Belanda (Mulkan,1990:29). Terlebih setelah dibentuknya utusan dakwah ke berbagai wilayah Nusantara (Darban,2000).
Organisasi Muhammadiyah memang menemukan perkembangan yang signifikan di daerah pedalaman Jawa, dimana pergulatan pemahaman Islam yang cenderung sinkretis (Geertz,1981; Mulder,1983), atau menurut Woodward (1988) yang lebih menganggap sebuah proses akulturasi antar Islam dan budaya lokal, telah melahirkan sikap konfrontatif dan motivasi Ahmad Dahlan serta Muhammadiyahnya, sehingga pendiri organisasi modern ini menemukan permasalahan mendasar umat sekaligus solusi bagi perubahan pemahaman Islam yang selama ini dianggap mengalami stagnasi, terutama terletak pada kehidupan manusianya (Damami,2000). Kegelisahan dalam menatap kondisi umat Islam inilah yang melahirkan pemikiran Ahmad Dahlan untuk mengembalikan posisi umat Islam dengan mereaktualisasi pemahaman Islam sesuai dengan aslinya.

Dalam perkembangan selanjutnya, Muhammadiyah mengalami pdrubahan model dalam gerakan dakwah. Ia lebih nampak sebagai gerakan yang anti dengan tradisi, ritual lokal–dalam arti anti terhadap syirik, tahayul, bid’ah, khurufat yang telah lama bergulir di kalangan masyarakat ‘tradisional’ dan telah merupakan tradisi yang turun-temurun (Asykuri et.al, 2003:2). Kegigihan Muhammadiyah memberantas TBC (Tahayul, Bid’ah, Churufat), menyebabkan sulit berkembang dalam masyarakat, terutama masyarakat tradisional (Geertz,1981). Meminjam istilah dari Abdul Munir Mulkan (2000), Muhammadiyah dalam perjalanannya lebih mengedepankan syariah sebagai doktrin ideologi dalam perubahan sosial. Penerapan syariah ini telah mengantarkan Muhammadiyah berada dalam posisi yang konfrontatif dengan tradisi lokal, baik dengan mayoritas Islam tradisional (NU), maupun dengan
kalangan abangan. Lebih lanjut, menurut Abdulloh (1996), pola pemurnian yang radikal terhadap tradisi yang berlaku di masyarakat lebih banyak diperankan oleh para ahli syariah sekaligus merupakan fungsi dominasi dari skriptualis syariah yang selama ini merupakan referensi pemahaman fundamentalis.
Secara teoritik meluasnya Muhammadiyah di daerah bukan tempat kelahirannya, mengandung banyak arti, termasuk sebuah upaya Islamisasi maupun sebuah usaha pribumisasi pemahaman Islam murni yang berkelanjutan oleh para anggota Muhammadiyah (Mulkan,2000). Kontak yang dilakukan Muhammadiyah di daerah-daerah, termasuk daerah pesisir utara Jawa, bagi Muhammadiyah merupakan sebuah wilayah yang telah ikut melahirkan sebuah motivasi untuk memformalisasi pemahaman Islam murni, sebuah pemahaman yang berdimensi ganda. Pertama, merupakan sebuah proses Islamisasi yang berarti pemberantasan bagi semua aspek yang bertentangan dengan skriptualis syariah yang fundamental (Nakamura,1983). Kedua, merupakan sebuah pergeseran konflik yang lebih luas, konflik yang dimaksud disini adalah pertemuan antara Muhammadiya dengan paham pemurniannya dengan tradisi santri tradisional yang selama ini telah mengakar kuat di masyarakat di pantai Utara Jawa (Asykuri,2003). Sebuah hubungan yang terbentuk karena munculnya patron-kliental diantara para tokoh Islam tradisional dengan para santri dan masyarakat sekitarnya (Mulkan,2000).
Sebagai organisasi yang ada di kawasan selatan pulau Jawa, berkembangnya Muhammadiyah di daerah sepanjang pantai utara Jawa merupakan akibat respon positif pada masyarakat muslim berpendidikan modern
atau terpelajar yang menginginkan suatu perubahan pada umat Islam (Ricklefs,2005:350). Namun demikian, kondisi Muhammadiyah di sepanjang pantai utara Jawa tidak sama dengan keadaan di kawasan selatan pulau Jawa, karena daerah utara pulau Jawa didominasi oleh pergerakan Islam yang lain yakni, Nahdhatul Ulama yang merupakan simbol dari kalangan muslim tradisional dan sampai sekarang termasuk menjadi salah satu kekuatan terbesar dalam gerakan Islam di Indonesia.

Dalam perkembanganya, pemahaman Nahdhatul Ulama sangatlah berbeda dan berlawanan dengan apa yang menjadi tujuan berdirinya Muhammadiyah. Akan tetapi satu hal yang tampak jelas, keberadaan, peran, dan kontribusi kedua organisasi ini dalam transformasi sosial umat Islam pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya sejak awal kelahirannya, pada era kebangkitan nasional hingga saat ini sungguh besar dan sangat penting. Pluralitas wajah pemahaman agama Islam yang diwujudkan dalam berbagai organisasi dapat pula diakibatkan oleh respon dari penganut pemahaman agama yang sama terhadap kondisi sosial yang berbeda (Pranowo,199:19). Dari perspektif inilah dapat dijelaskan tentang kecendrungan organisasi atau gerakan Islam yang dikenal sebagai ‘modernis’ yaitu Muhammadiyah lebih mendapatkan pendukung kuat di daerah perkotaan, sedangkan NU yang berusaha melestarikan tradisi secara kuat, sehingga dikenal sebagai golongan ‘tradisional’ memperoleh pengaruh kuat di desa-desa, baik pedesaan pesisir maupun pedesaan pertanian.

Sebagai daerah pantai pada umumnya, pantai utara Jawa dalam perjalanan waktu telah melahirkan situasi kehidupan yang cepat berubah, apalagi didukung adanya kebudayaan yang berbeda dan beragam dalam satu lokasi, telah
melahirkan kehidupan masyarakat pantai cenderung terbuka, sehingga menjadi suatu yang wajar bila pantai utara Jawa ikut berperan dalam terjadinya konversi masyarakat ke-dalam agama Islam di Indonesia (Masroer,2004:29). Hubungan masyarakat di pantai utara Jawa yang dimulai melalui saluran-saluran seperti asimilasi, akulturasi bahkan yang lebih ekstrim melalui saluran penetrasi telah membuat masyarakat di pantai utara Jawa mempunyai komunitas yang plural baik dari segi komposisi ras, agama, dan tradisi. Kecendrungan yang muncul dalam hubungan komunitas-komunitas masyarakat di pesisir utara Jawa, banyak di perankan oleh Islam. Hal tersebut, berkaitan erat dengan peran yang cukup dominan oleh masyarakat Islam yang pada awal kedatangan Islam, kota-kota pesisir utara Jawa jika direkonstruksi merupakan tempat berkumpulnya masyarakat Islam dalam penyebaran Islam sekaligus merupaka komponen penting dari kehidupan ekonomi dan sosial (Syam,2005)..
Menjamurnya komunitas Islam di pesisir utara Jawa yang diwujudkan dalam bentuk komunitas sosial masyarakat, termasuk banyaknya pesantren yang didirikan sebagai basis penyebaran pandangan hidup masyarakat yang melembaga dalam hubungan keyakinan hidup dan pola kehidupan sosial yang semuannya itu dipengaruhi oleh nilai normatif Islam (Zarkasyi,2003:119). Hal tersebut juga merupakan jawaban dari sebuah asumsi Sartono Kartodirjo yang selama ini mengangap proses penyebaran Islam dan pelembagaan Islam merupakan sebuah gerakan politik. Permasalahannya, perkembangan Islam selama ini yang ditawarkan kepada masyarakat–baik itu raja, bangsawan, pedagang dan rakyat jelata, lebih merupakan sebuah pandangan hidup daripada sebuah gerakan politik, sebab Islam disebarkan di Nusantara bukan melalui
melalui penetrasi dan peperangan, tetapi lebih berupa jalinan hubungan masyarakat melalui kontak-kontak sosial dan ekonomi (ibid,2003:120).
Selanjutnya, melalui cara tradisional dalam penyebarannya dengan berbagai konflik yang dialami–baik dari masyarakat setempat maupun penetrasi dari penjajah–, pelembagaan Islam telah mengalami pasang surut. Ketika bersentuhan dengan kolonial Belanda, masyarakat Islam dengan pesantren menempatkan diri dalam konfrontasi dengan penjajah. Melihat perlawanan dari masyarakat muslim Nusantara, telah melahirkan kebijakan Islam Politieke dari kolonial Belanda yang bertujuan untuk mengiliminir peran strategis dan kekuatan Islam, terutama tokoh-tokoh pergerakan Islam (Suminto,1996:2). Munculah kebijakan untuk memasarkan produk pendidikan model barat, kebijakan ini bertujuan untuk menciptakan pemimpin pribumi yang berorientasi pada nilai-nilai barat. Menurut Aziz Thaba (1996), kebijakan ini merupakan sebuah formulasi dari Snouck Hourgronye–tokoh orientalis dan akademisi Belanda yang berdiri dibelakang hegemoni penjajah sebagai penasehat kolonial– yang bertujuan untuk menghilangkan peran tokoh Islam dengan tokoh pribumi yang berorientasi barat (Azra,1999).

Akhirnya, bukan stabilitas yang diharapkan kolonial Belanda, melainkan sebuah penetangan dan perlawanan yang berasal dari masyarakat dan pergerakan Islam Indonesia–sebagian besar para pemimpin Islam yang berorientasi modern– yang melihat sistem dan pemeberdayaan umat Islam Indonesia sudah sangat tertinggal, demi untuk memenuhi kelangsungan dan kejayaan umat Islam telah muncul pergerakan Islam modern seperti Muhammadiyah, meskipun ada faktor eksternal seperti Pan-Islamisme yang berperan melahirkan motivasi para
pemimpin Islam modern. Dengan demikian, Lahirnya organisasimodern Islam semacam Muhammadiyah di Yogyakarta tahun 1912 merupakan sebuah kemajuan sekaligus perubahan cara pandang struktural perjuangan sekaligus pemahaman Islam yang signifikan bagi kalangan Islam Indonesia.
Secara umum, bila kita berbicara keberhasilan dan munculnya perjuangan rakyat pribumi dalam bentuk organisasi modern pada jaman pergerakan nasional seperti Budi Utomo dan Muhammadiyah tidak terlepas dari faktor Politik Etis yang barangkali bagi kolonial Belanda merupakan dilema tersendiri (Niel,1984:118). Berlakunya Politik Etis yang dihembuskan di tanah Hindia oleh sebagian orang Belanda yang mempunyai rasa kemanusian telah melahirkan sebuah kehidupan baru bagi rakyat pribumi. Dari kebijakan pemerintah kolonial ini, bidang pendidikan merupakan wahana yang sangat penting bagi kelangsungan perjuangan kaum pribumi dalam tahun-tahun berikutnya. Dengan pendidikan inilah cara berfikir dan pengetahuan kaum pribumi menjadi berkembang dan maju yang pada akhirnya dapat mewujudkan sikap kritis dan semangat nasionalisme Rakyat Hindia Belanda, meskipun dalam realitanya pendidikan yang diberikan pemerintah kolonial ini hanya dapat dinikmati oleh kalangan rakyat pribumi yang mempunyai status darah biru. Akan tetapi, keadaan setelah kebijakan Politik Etis digulirkan daerah Hindia Belanda telah menimbulkan suatu perubahan sosial yang pada awalnya menimbulkan ketidaksukaan kalangan elit Jawa yang menghendaki status quo, kelompok ini terdiri dari para bangsawan yang selama ini telah menikmati kehidupan dalam kekuasaan pemerintah Hindia Belanda (ibid,1984:71).

Munculnya elit yang berpendidikan barat pada masa pergerakan nasional di Hindia Belanda yang notabene adalah dunia Timur, pada akhirnya akan memunculkan elit baru dengan beberapa ideologi yang sampai sekarang mewarnai kekuasaan politik (Kartodirjo,1983:159). Adanya Politik Etis untuk kalangan masyarakat santri di daerah Hindia telah melahirkan suatu elit yang berpendidikan barat, tetapi mempunyai corak pemikiran dan visi keislaman yang kuat. Perubahan yang terjadi demikian pada akhirnya telah melahirkan kelompok pemikir-pemikir Islam yang didasari nasionalisme mulai melakukan langkah-langkah perjuangan yang modern. Kendati demikian, munculnya pemikiran sekaligus para tokoh yang mengaktualisasikan Islam sebagai tolak ukur perjuangan dengan metode modern muncul akibat Politik Etis, tetapi para tokoh ini tidak menjadikan barat sebagai acuan berfikir, tetapi Timur Tengah yang menjadi acuan berfikir. Disamping itu dalam waktu bersamaan di dunia Arab sedang bergolak perjuangan yang menitikberatkan Pan Islamisme yang di gerakan para tokoh seperti Jamaludin Al-Afghani dan Muhammad Abduh telah mempengaruhi secara ekternal kemunculan organisasi Islam Modern, salah satunya Muhammadiyah (Suwarno,2000:170). Dengan demikian, Politik Etis oleh kalangan Islam di Jawa khususnya dimanfaatkan untuk berjuang dengan konsep perjuang`n modern yang bercorak Islam.

Sebagai program yang diberlakukan dengan tujuan awal untuk memberikan kesan balas budi kepada daerah jajahan ini secara tidak langsung menjadi faktor munculnya kesadaran perjuangan berorganisasi di kalangan masyarakat muslim Indonesia, apalagi pada kaum terpelajar yang menghendaki perjuangan dengan cara modern (Damami,2000:2).

Didukung keadaan bangsa yang terjajah, fungsi dan peran umat Islam menjadi terhambat. Munculnya Muhammadiyah yang merupakan organisasi modern pada saat bangsa Indonesia dijajah telah melahirkan sebuah motivasi sekaligus sebuah harapan bagi masyarakat. Motivasi ini berupa daya tarik pembaharuan dan sistem organisasi yang disusun modern, sehingga membuat gerakan Muhammadiyah mempunyai daya tarik bagi semua lapisan masyarakat Islam, baik masyarakat kelas bawah, kalangan birokrat bahkan sampai kaum terpelajar yang mendapat pdndidikan barat. Selain itu, terjalinnya hubungan yang bersifat horisontal kelembagaan yang saling menguntungkan antara organisasi Budi Utomo dan Muhammadiyah merupakan sebuah contoh hubungan kerjasama yang sangat penting dalam masa pergerakan nasional.

Kontribusi yang sangat penting dari anggota Budi Utomo kepada Ahmad Dahlan dan teman-temannya, adalah berupa pengalaman anggota Budi Utomo yang dituangkan dalam bentuk pendirian Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi modern dan membantu pembentukan menejemen organisasi menurut pengalaman mereka. Satu hal yang tidak dapat dilupakan, sekalipun KH. Ahmad Dahlan cukup dekat dengan organisasi Budi Utomo, namun tampaknya orientasi revivalisme kebudayaan Jawa yang diperjuangkan organisasi Budi Utomo tidak mempengaruhinya, sebab revivalisme kebudayaan (yang terbatas Jawa) seperti itu tidak memuaskan visi ke depan KH. Ahmad Dahlan untuk memecahkan problem masyarakat (Damami,2000:102).

Organisasi Muhammadiyah yang merupakan wadah perjuangan kelompok muslim intelektual yang muncul dalam masa pergerakan nasional merupakan salah satu organisasi yang berjuang dengan konsep modern dan menggunakan
identitas Islam yang sangat kental dalam pergerakannya. Melihat kenyataan seperti itu, sangat ketara sekali bila pergerakan yang didirikan oleh Ahmad Dahlan yang telah mendapatkan semangat Pan Islamisme yang didengungkan di dunia Islam, sejak munculnya telah menggunakan metode organisasi yang menitikberatkan pada pembentukan masyarakat Islam yang ideal, maka berdasarkan parameter tersebut banyak para pengamat yang mengkategorikan Muhammadiyah dengan sendirinya sebagai sebuah gerakan keagamaan Islam yang modern (Damami,2000:1). Kenyataannya, hal ini didukung dan dibuktikan dengan adanya struktur organisasi yang berada di tataran pusat sampai daerah (Noer,1996:84).
Menurut Adaby Darban (2000) bahwa, komunitas Muhammadiyah lahir dengan membentuk sebuah komunitas dengan penerapan Islam secara formal dan berorientasi pada kegiatan yang bersifat sosial, seperti pembangunan Masjid, sekolah model barat dan klinik kesehatan. Kendati, Muhammadiyah lahir merupakan sebuah kebutuhan dan respon yang mendesak untuk mengejar ketertinggalan umat Islam, terutama masyarakat kota yang melihat keterpurukan umat (Pranowo,1998:19). Sebaliknya, dengan munculnya organisasi modern Islam juga memunculkan polemik yang komplek dalam lingkup masyarakat Islam sendiri. Perlu diketahui dengan munculnya orientasi yang sifatnya modern pada umat Islam tidak serta merta mnghilangkan komunitas Islam bersifat non- modernis–penerapan pendidikan dan sistem strukturalnya–atau lebih dikenal dengan Islam tradisional yang selama ini diwakili oleh NU.

Sementara itu, bergulirnya dikotomi modern dan tradisional yang beredar di masyarakat dalam lingkup pemahaman keagamaan dan kegiatan organisasi,
menempatkan posisi organisasi Muhammadiyah sebagai gerakan modern (Suwarno,2001:1). Berangkat dari hal di atas, kemodernisan yang melekat pada organisasi Muhammadiyah paling tidak tampak dalam tiga hal, antara lain, (1). Bentuk gerakannya terorganisasi, (2). Aktivitas pendidikannya mengacu pada model sekolah modern, berpola klasikal, (3). Aktivitas organisasi terutama amal usahanya didasarkan pada pendekatan teknologis (Mulkan,1990:9).

Untuk selanjutnya, ada tiga wajah yang dimiliki oleh Muhammadiyah sebagai pilar pergerakannya, yakni sebagai a religious reformist, agent of social change, dan a political force (Alfian,1989:5). Sebagai a religious reformist, Muhammadiyah tampil dalam bentuk gerakan pemurnian Islam yang tujuan utamanya adalah memberantas syirik, tahyul, bid’ah, dan khurafat di kalangan umat Islam. Hal diatas bertalian erat dengan praktek-praktek keagamaan yang kontradiktif dengan tujuan hakiki Islam itu sendiri yang tidak lain karena singkretisme Islam dengan pola kebudayaan Jawa (Noer,1996:85). Pola kehidupan keagamaan demikian terjadi ketika pengaruh kekuasaan keraton sebagai sentral kultural agama Islam secara legal mendukung kehidupan yang menyimpang dengan kemurnian Islam sekaligus tujuan Muhammadiyah.
Kemudian sebagai agent of social change, Muhammadiyah melakukan usaha modernisasi sosial dan pendidikan yang bertujuan memberantas keterbelakangan umat Islam yang selalu terlambat dan terhambat dalam peran dan fungsinya dalam perubahan akibat kolonialisme yang lama. Sebagai a political force, lebih mengkonsentrasikan pada lingkup keagamaan dan permasalahan sosial kemasyarakatan. Kendati demikian, pada tataran politik praktis Muhammadiyah secara oraganisasi dipastikan tidak pernah secara hukum
berdiri sebagai sebuah partai politik, sebagaimana organisasi massa lainnya seperti NU, PSII, Masyumi dan organisasi lainya yang bergerak secara hukum sebagai organisasi politik. Hanya saja para tokoh dan warga Muhammadiyah secara personal terlibat dalam politik praktis bergabung dengan partai Islam yang ada, meskipun permasalahan ini dalam organisasi Muhammadiyah dalam setiap Muktamar menjadi perdebatan dikalangan warga Muhammadiyah sendiri.

Dengan berbagai wajah inilah organisasi Muhammadiyah mempunyai predikat sebagai gerakan pembaharuan (Nashir, 2000:3). Anggapan atas predikat pembaharuan pada Muhammadiyah ini merupakan keputusan yang sifatnya homogen dari masyarakat Islam Indonesia, fakta ini diakui baik pada kalangan warga Muhammadiyah maupun organisasi pergerakan lainnya. Identitas yang melekat pada diri organisasi Muhammadiyah ini sampai sekarang memberikan warna tersendiri, yaitu merupakan sebuah organisasi yang menjadi tempat bernaungnya orang-orang yang memiliki pendidikan modern. Dampak yang muncul akibat dikotomi membuat sebagian masyarakat yang bersebrangan dengan konsep Muhammadiyah menolak segala bentuk kegiatan yang bernuansa pembaharuan. Terlebih bila ada kegiatan yang mempermasalahkan konsep tradisionalisme yang dilakukan sebagian masyarakat sampai sekarang.

Kemudian, fungsi sosial organisasi Muhammadiyah pada gilirannya muncul sebagai suatu gerakan kebangkitan umat Islam yang disusun dengan agenda modern dan terstruktur, Muhammadiyah mulai berusaha dengan perjuangan untuk dapat mengembalikan martabat bangsa dan umat yang kala itu terjajah, dan tujuan dasarnya menjadi sebuah bangsa yang merdeka. Dalam
perjalanan agenda perjuangan yang dilakukan organisasi ini juga membuat suatu perubahan sosial yang sangat signifikan baik dalam tubuh umat Islam, juga menumbuhkan perlawanan umat terhadap segala bentuk ketidakadilan dan penjajahan baik secara fisik maupun secara pemikiran, sebagai contoh adalah upaya warga Muhammadiyah di Indonesia dalam membendung penetrasi misionaris di Indonesia (Alwi Shihab,1998:3).

Tidak hanya berhenti di situ saja, dengan didasari oleh nasionalisme yang merupakan salah satu kunci penggerak munculnya organisasi pada awal abad ke-
20 (Suhartono,2001:3). Muhammadiyah juga tampil menjadi pelopor dalam menentang terhadap kebijakan kolonial, sebagai contoh, dalam sebuah kegiatan yang melibatkan salah satu tokoh Muhammadiyah dalam melakukan aksi pemogokan dengan buruh-buruh perkebunan dan pabrik milik Belanda, hal ini berawal dari kebijakan Belanda yang merugikan para buruh. Klimak dari aksi pemogokan ini mengakibatkan A.R Fakhrudin, yang merupakan salah satu tokoh Muhammadiyah masuk penjara, karena partisipasinya dalam aksi tersebut (Nashir,2000:84).

Kegiatan aksi penentangan terhadap kolonial tidak cukup pada fase tersebut, banyak kegiatan yang dilakukan oleh anggota Muhammadiyah sendiri, baik dari pimpinan pusat maupun cabang. Kolaborasi dengan organisasi lain merupakan salah satu cara yang dilakukan untuk menentang kolonial Belanda. Kerja sama ini juga di bangun atas dasar persamaan tujuan maupun rasa kebangsaan. Ketika partai Masyumi berdiri Muhammadiyah termasuk salah satu anggota istimewa di dalam Masyumi, sehingga banyak kebijakan yang berasal dari Muhammadiyah menjadi rumusan tujuan dasar dan cita-cita partai Masyumi
yang bertujuan memajukan umat pada era rezim kolonial Belanda dan kolonial
Jepang bahkan sampai dibubarkanya partai Islam ini (Muchtar,2004:119).

Fenomena kegiatan yang bernuansa politik dalam lingkup penentangan terhadap kolonial dapat dimengerti oleh semua kalangan bila membaca dan mencermati penjelasan Kepribadian Muhammadiyah sebagai berikut,
“Muhammadiyah tidak buta politik, tidak takut politik, tetapi Muhammadiyah bukan organisasi politik. Muhammadiyah mencampuri soal-soal politik, tetapi apabila soal-soal politik masuk dalam Muhammadiyah ataupun soal politik mendesak- desak urusan agama Islam, maka Muhammadiyah akan bertindak menurut kemampuan, cara dan irama Muhammadiyah sendiri” (PP Muhammadiyah,1996:6).

Dari membaca konsep Kepribadian Muhammadiyah dapat digambarkan sebagai sebuah situasi rumit yang dihadapi organisasi Muhammadiyah ketika berhadapan dengan politik. Kenyataan sosiologis menunjukkan, bahwa hubungan Muhammadiyah dengan politik itu beragam dan tidak linier. Hal ini, berangkat dari suatu permasalahan yang memposisikan Muhammadiyah sebagai salah satu pihak yang secara yuridis bukan merupakan sebuah partai politik.

Sementara itu, peran yang dimiliki Muhammadiyah dalam lingkup sosial kemasyarakatan selama ini berupa sebuah gerakan yang menekankan pada bashs sosial keagamaan. Akan tetapi, melihat perkembangan kondisi kehidupan berbangsa yang menempatkan Muhammadiyah dalam situasi yang mengharuskan organisasi ini menghadapi dinamika kehidupan politik yang difahami sebagai perjuangan untuk meraih kekuasaan yang seharusnya diperankan sebuah partai politik. Keadaan ini membuat bagi Muhammadiyah akan melahirkan suatu paradoks dengan tujuan dari sebuah lembaga semacam Muhammadiyah. Dari sini bila dicermati secara menyeluruh dari pernyataan
diatas, maka dapat diambil sebuah kesimpulan yang menempatkan Muhammadiyah pada kerangka berfikir untuk memposisikan diri sebagai kelompok kepentingan dalam ruang lingkup untuk memainkan fungsi politik.

Perjuangan Muhammadiyah tidak hanya berhenti sampai di situ saja, akan tetapi dilakukan secara berlanjut dan dalam perjalanannya selalu mewarnai dinamika bangsa dari kemerdekaan, orde lama, orde baru dan orde reformasi yang telah mendewasakan dan menumbuhkan kearifan Muhammadiyah yang terus berjuang demi kemajuan umat dan bangsa. Salah satu sisi positif yang dimiliki gerakan Muhammadiyah adalah kontribusinya dalam dinamika perkembangan masyarakat muslim, sehingga dalam kurun waktu yang lama masih tetap eksis pada perjuangan ide-ide demi perubahan umat dan bangsa menuju yang lebih baik. kegiatan ini dilakukan karena didukung oleh sebuah pilihan perjuangan akomodatif dan konsisten dalam jalur sosial keagamaan, yang di kalangan Muhammadiyah sebagai gerakan yang mengajarkan amar ma’ruf nahi munkar (Sobron,2003:31).
Dengan membaca sejarah pertautan Muhammadiyah dan politik, akhirnya melahirkan suatu kebijakan berupa strategi yang akomodatif dalam pendekatan terhadap penguasa, apalagi ketika rezim orde lama dan orde baru berkuasa secara otoriter. Dengan demikian, tidak salah bila muncul anggapan bahwa organisasi Muhammadiyah termasuk salah satu gerakan yang mengalami pasang surut dan pahit getir kekuasaan rezim yang silih berganti (Nashir,2000:15).

Suasana pasang surut organisasi Muhammadiyah tidak hanya melingkupi wilayah politik dan kekuasaan saja, akan tetapi gerakan yang lahir di Yogyakarta ini mengalami persoalan ketika berhadapan dengan keadaan sosial
di daerah yang di dalamnya terdapat kekuatan yang lebih dominan. Kekuatan itu bisa berwujud organisasi massa maupun bisa sebuah kebudayaan atau tradisi yang kontradiksi dengan Muhammadiyah atau memiliki kepentingan politik yang berkaitan dengan warga dan simpatisan organisasi Muhammadiyah. Suasana ini pada gilirannya tidak jarang telah melahirkan suatu persoalan sosial keagamaan yang pada klimaksnya menjadi suatu bentuk perpecahan, dan tak jarang pula menimbulkan korban dan kerugian harta milik masyarakat. Kasus perseteruan yang terjadi di Banyuwangi yang melibatkan warga Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama pada tahun 1999 merupakan suatu contoh yang layak dijadikan suatu pelajaran yang berharga ( Nashir,2001:3).

Konflik yang mengangkat isu-isu pemahaman beragama dan melibatkan kalangan Muhammadiyah dan NU di dalamnya telah menjadi suatu dinamika kehidupan masyarakat tersendiri. Pemandangan tentang konflik horisontal dalam masyarakat muslim yang melibatkan dua organisasi keagamaan di atas bukan kejadian yang sifatnya kotemporer. Pertentangan yang menafikan persamaan ideologi, dan lebih menonjolkan perbedaan dalam pola pendekatan teknis dalam kehidupan beragama –pendekatan yang lebih bersifat ritual seperti ibadah dan hubungan sosial kemasyarakatan (fikih), telah menguras tenaga organisasi keagamaan tersebut dalam konfrontasi yang tidak kunjung selesai. Tidak ayal lagi, dalam perkembangannya organisasi Muhammadiyah dan NU lebih banyak menampilkan konflik daripada konsensus, apalagi konflik yang melibatkan kedua organisasi tersebut lebih banyak terjadi di daerah yang menempatkan NU sebagai mayoritas massa dalam suatu daerah, termasuk daerah pesisir utara Jawa yang selama ini merupakan tempat terjadinya Islamisasi dan pelembagaan
agama Islam di Jawa (Syam,2005:63-70). Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan konflik juga terjadi di daerah yang menempatkan Muhammadiyah sebagai komponen mayoritas.

Kemudian, pengelompokan masyarakat yang didasarkan pada ritual dan pemahaman keagamaan yang terjadi di pesisir pantai utara Jawa, termasuk di wilayah Kabupaten Rembang telah menempatkan komunitas masyarakat dalam konflik dan konsensus yang bersifat horisontal. Konflik dan konsensus yang menjadi bagian kehidupan sehari-hari dalam masyarakat–khususnya dalam lingkup masyarakat muslim–merupakan suatu fenomena tersendiri bagi wilayah pantai utara Jawa. Sebab dalam perjalanan sejarahnya pantai utara Jawa telah menjadi saksi terjadinya proses penyebaran agama, baik Hindhu-Budha, Islam dan Nasrani yang sekarang menjadi komunitas agama yang diakui resmi di Indonesia.

Sebagai bagian dari kota pesisir utara Jawa, wilayah Kabupaten Rembang merupakan tempat mengakarnya tradisi Islam tradisional, hal tersebut di buktikan dengan munculnya banyak tokoh Islam tradisional dari daerah Rembang. Dalam masa penyebaran dan pelembagaan Islam di pesisir utara Jawa–masa kedatangan Islam di pulau Jawa–wilayah Rembang yang termasuk daerah kekuasaan Kerajaan Demak, merupakan salah satu pintu masuk sekaligus berfungsi sebagai kota pusat komunitas Islam (De Graff,2003), disamping merupakan kontak dan jaringan dagang masyarakat pribumi dengan para pedagang Islam yang membawa budaya dan agama baru (Azra,2005). Pertautan ideologi masyarakat pesisir yang berupa agama Islam, merupakan wahana perkembangan ideologis sekaligus hubungan psikologis antara penyebar Islam
(Wali atau Kyai) dengan para muridnya (santri). Lambat laun perkembangan Islam mulai menyebar ke pedalaman pulau Jawa yang merupakan hasil ‘kerja’ para santri dalam pengembaraan dakwah mereka.

Bagi Muhammadiyah dalam penyebaran pemahamannya di pesisir utara Jawa, termasuk dalam wilayah Kabupaten Rembang–perkembangan yang bersifat kelembagaan dan tidak berorientasi yang bersifat penetrasi–sangat beragam dalam perkembangannya. Di sisi, lain seperti wilayah Pekajangan dan Lamongan daerah Muhammadiyah di pesisir utara Jawa lainnya, lebih menunjukkan sifat perkembangangan yang signifikan. Kendati, ketika dibandingkan dengan dominasi yang bersifat lembaga dan massa yang dimiliki NU, Muhammadiyah di wilayah Kabupaten Rembang jelas tidak berimbang. Sependapat dengan Karel Steenbrink (1994:57) yang menyatakan bahwa, Muhammadiyah cenderung lebih dikonsumsi oleh masyarakat kota yang sekaligus berperan sebagai pusat perdagangan, sehingga tidak mengherankan jika Muhammadiyah di Rembang lebih banyak berkonsentrasi di kota-kota kecamatan, disamping itu Muhammadiyah di Rembang personalnya didominasi oleh para pegawai negeri.
Dalam kasus Muhammadiyah di wilayah Rembang, cukup sesuai dengan tulisan diketengahkan oleh Kuntowijoyo yang berjudul Muslim Tanpa Masjid (2001). Sebagai kelompok gerakan Islam ‘pendatang’ di wilayah pesisir utara Jawa, Muhammadiyah datang ke Rembang didukung oleh orang-orang pendatang. Tanpa didukung patron-kliental dari masyarakat sebagaimana NU, Muhammadiyah dalam perkembangannya sulit untuk menerapkan kondisi sosial dan masyarakat setempat sesuai dengan kondisi daerah Kauman Yogyakarta.

Tidak ayal lagi, kemunculannya telah membangkitkan konflik yang rumit dengan gerkakan Islam tradisional NU yang telah lama mengakar di masyarakat Rembang. Benturan dan konflik yang muncul antar dua pemahaman yang berbeda ini telah melahirkan warna yang berbeda dalam pemahaman beragama Islam. Bagi NU yang telah menempatkan diri di daerah pesisir utara Jawa, dengan didukung ribuan santri pesantren dan dibidani oleh kyai yang mempunyai hubungan patron-kliental serta memiliki motivasi untuk melestarikan kebudayaan leluhur (Pranowo,1998; Mulkan, 2000). Telah melahirkan Konsensus bagi masyarakat setempat terhadap legitimasi dan pelembagaan Islam lokal.

Pada akhirnya dengan mengikuti alur pemikiran di atas peneliti bermaksud untuk mengangkat sepak terjang organisasi Muhammadiyah di pantai utara Jawa dalam kawasan wilayah Kabupaten Rembang, dalam suatu penelitian yang berjudul DINAMIKA ORGANISASI MUHAMMADIYAH DALAM PEREBUTAN PENGARUH MASSA DI DI KABUPATEN REMBANG TAHUN 1960-2000.

Untuk mendapatkan koleksi Judul Tesis Lengkap dan Skripsi Lengkap dalam bentuk file MS-Word, silahkan klik download
Atau klik disini

Transformasi Nilai Sosial Dan Etika Politik Warga Desa Makamhaji Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo Dalam Era Reformasi Tahun 1999 - 2004 (PSJ-1)

A. Latar Belakang Masalah
Masalah politik adalah masalah yang selalu aktual sehingga tetap menarik untuk dibicarakan, dikaji dan dicermati. Persoalannya bukan berarti politik adalah masalah yang paling utama dalam kehidupan manusia, akan tetapi sebagai warga negara yang hidup dalam suatu negara perlu tahu dan peduli terhadap keadaan politik masyarakat yang saat ini sedang berkembang. Dengan mengetahui perkembangan budaya dan etika politik suatu masyarakat, maka keputusan dan kebijakan politik yang dilakukan oleh penguasa akan lebih bermanfaat dan berorientasi terhadap kesejahteraan masyarakat banyak.

Pada era reformasi seperti sekarang ini, masalah politik menjadi kebutuhan sehari – hari dan menjadi perbincangan orang hampir disemua tempat. Mulai dari meja pemerintah, kalangan ekonomi, para praktish hukum, bahkan sampai para petani yang pada masa orde baru, mereka tidak tahu politik, kini sangat terasa bahwa dunia politik sepertinya menjadi bagian yang penting bagi kehidupan mereka.

Media massa dan media elektronik sebagai salah satu dari agen politik memungkinkan gencarnya arus informasi yang masuk ke pedesaan, termasuk informasi dalam bidang politik, sehingga masyarakatpun dapat dengan leluasa mengikuti perkembangan politik yang terjadi di tanah air bahkan di dunia internasional sekalipun. Masyarakat desapun kini sudah dapat mengakses berbagai kejadian dengan cepat kapan dan dimanapun.

Selain peranan media massa terlebih media elektronik sebagai salah satu agen politik, arus urbanisasi dan mobilitas penduduk dari desa ke kota dapat pula mempengaruhi pola pikir masyarakat dalam bidang politik, terutama terhadap orientasi budaya politik, mulai dari pengetahuan dan kepercayaan politik (orientasi kognitif), perasaan terhadap sistem politik, perasaan politik serta aktor politik dan penampilannya (orientasi afektif), juga orientasi evaluatif yang meliputi keputusan dan pendapat tentang obyek – obyek politik yang secara tipikal melibatkan kombinasi standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan ( Almond dkk, 1990:16-17 ).

Wacana politik yang saat ini sedang berkembang terutama di Desa Makamhaji Kecamatan Kartasura Kabupatan Sukoharjo dalam era reformasi perlu dikaji dan dicermati karena adanya indikasi gejolak dalam masyarakat terhadap keputusan – keputusan yang diambil oleh pemerintah, terutama pemerintah Desa. Dalam era reformasi seperti sekarang ini di Desa Makamhaji ada keberanian dari sebagian masyarakatnya untuk lebih aktif dan berpartisipasi dalam bidang politik. Namun ada keraguan dalam menentukan cara – cara mereka berpartisipasi, sehingga terjadi partisipasi yang kurang etis dari sebagian kecil warga Desa Makamhaji.

Bertitik tolak dari pemikiran tersebut diatas, maka kami bermaksud meneliti sejauh mana transformasi nilai sosial serta cara – cara yang ditempuh masyarakat dalam menyalurkan aspirasi politiknya, lebih khusus perubahan
nilai sosial dan etika politik yang ada dan terjadi di Desa Makamhaji
Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo dalam era reformasi tahun 1999 -
2004.

Untuk mendapatkan koleksi Judul Tesis Lengkap dan Skripsi Lengkap dalam bentuk file MS-Word, silahkan klik download
Atau klik disini

Hubungan Antara Postur Tubuh Dan Keterbelajaran Gerak Pada Siswa Kelas V Dan Vi Sekolah Dasar Negeri Di Kecamatan Sragi Kabupaten Pekalongan (POL-8)

1.1 Latar Belakang Masalah
Manusia dalam hidupnya selalu tumbuh dan berkembang seiring dengan bertambahnya usia. Sepanjang hidup manusia mulai masih dalam kandungan, dilahirkan dan sampai mati memperoleh sebutan yang berganti-ganti. Pergantian sebutan didasarkan pada usianya dan merupakan fase-fase dalam perkembangan yang dilewati.

Anak-anak sekolah dasar kelas V dan VI merupakan usia anak besar. Pada masa anak usia besar kecenderungan pertumbuhan fisik kearah tipe tubuh tertentu mulai terlihat, namun masih belum begitu jelas.


Sebagian besar kegiatan anak-anak di Kecamatan Sragi pada usia anak besar tidak jauh berbeda dengan kecamatan lain. Kegiatan setiap harinya yaitu sekolah. Dengan bersekolah anak-anak mendapat pengetahuan tentang pembelajaran gerak melalui mata pelajaran pendidikan jasmani dan kebutuhan gerak mereka juga terpenuhi melalui permainan-permainan yang dilakukan di sekolah. Tetapi untuk kegiatan di luar sekolah tergantung dari daerah masing-masing. Biasanya anak mengisi waktu luang dengan bermain. Permainan yang dimainkan juga tergantung pada musim yang ada pada desa masing-masing. Bentuk permainan juga bermacam-macam, ada sepak bola, layang-layang, kelereng, engklek, dan lain- lain. Selain kegiatan aktifitas permainan (motorik) anak-anak ada yang memilih permainan elektronik misalnya play station, dingdong, video game dan kebiasaan nonton TV. Setiap sore anak-anak juga ada yang pergi mengaji di sekolah TPQ.

Anak yang menguasai keterampilan gerak dasar yang baik akan lebih bisa menguasai aktivitas olahraga dengan baik pula. Gerakan dasar dalam olahraga sangat banyak dan bervariasi. Dengan aktivitas olahraga dan aktifitas lainnya anak akan tambah pintar bergerak, sebab dalam olahraga sendiri kebanyakan yang dipelajari adalah masalah gerakan. Biasanya anak yang suka bergerak, akan mempunyai gerakan yang lebih banyak apabila dibandingkan dengan anak yang lebih memilih untuk tidak banyak bergerak.

Anak yang mempunyai postur tubuh yang seimbang, diharapkan dapat melakukan gerak yang optimal. Suatu rangkaian gerakan dapat terlihat dengan jelas pada saat anak melakukan gerakan tertentu. Seorang anak dikatakan mempunyai koordinasi tubuh yang bila mampu bergerak dengan mudah dan lancar dalam rangkaian gerakan (Khomsin, 2002:25).

Perkembangan gerak pada masa anak besar berbeda dengan pada masa sebelumnya, maupun pada masa sesudahnya. Pada masa ini terjadi perkembangan fisik yang makin jelas, khususnya yang terkait dengan kekuatan, kelentukan, keseimbangan, dan koordinasi.

Kemampuan gerak anak besar bertambah sejalan dengan fisik dan ukuran tubuh. Kemampuan gerak dasar yang biasa dilakukan antara lain gerakan menggunakan tangan dan kaki. Menurut Khomsin (2002:25) gerak dasar anak besar dapat diidentifikasikan dalam bentuk:
a. Gerakan bisa dilakukan dengan mekanik tubuh yang makin efisien b. Gerakan yang dilakukan makin lancar
c. Pola atau bentuk gerakan makin bervariasi d. Gerakan yang dilakukan makin bertenaga
Pada umumnya gerakan yang dilakukan sudah menyerupai orang dewasa, perbedaanya hanya pada tenaga atau gerakan yang kurang bertenaga.
Bertolak dari pemikiran diatas, dapat disimpulkan bahwa dengan aktifitas fisik yang ada di daerah Kecamatan Sragi nantinya akan berpengaruh pada perkembangan ukuran dan proporsi tubuh yang erat kaitannya dengan keterbentukan setiap individu ke tipe bentuk tubuh tertentu. Bentuk tubuh seseorang merupakan wujud dari perpaduan antara tinggi badan, berat badan serta berbagai antropometrik lainnya pada diri seseorang.
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti merasa perlu melakukan penelitian dengan judul “Hubungan Antara Postur Tubuh dan Keterbelajaran Gerak Pada Siswa Kelas V dan VI Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Sragi Kabupaten Pekalongan Tahun Ajaran 2006/2007”.

Untuk mendapatkan koleksi Judul Tesis Lengkap dan Skripsi Lengkap dalam bentuk file MS-Word, silahkan klik download
Atau klik disini

Peningkatan Hasil Belajar Kimia Dengan Pendekatan Modification Of Reciprocal Teaching Pokok Materi Larutan Penyangga Siswa Kelas XI IPA (PKM-1)

A. Latar Belakang
Pendidikan di sekolah tidak lepas dari kegiatan Proses Belajar Mengajar (PBM) yang merupakan perencanaan secara sistematis yang dibuat oleh guru dalam bentuk satuan pelajaran. Menciptakan kegiatan belajar mengajar yang mampu mengembangkan hasil belajar semaksimal mungkin merupakan tugas dan kewajiban guru. Oleh karena itu, seorang guru memerlukan strategi penyampaian materi untuk mendesain KBM yang dapat merangsang hasil belajar yang efektif dan efisien sesuai dengan situasi dan kondisinya.

Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) mencoba memunculkan segala kompetensi yang dimiliki oleh siswa. Dengan sistem ini siswa dituntut untuk aktif dalam proses belajar mengajar. Jadi dalam lingkup ini siswa merupakan subyek belajar.
 
Siswa sebagai subyek belajar harus berperan aktif dalam pembelajaran. Keaktifan siswa dinilai dari peranannya dalam pembelajaran, seperti bertanya, menjawab pertanyaan, memberi tanggapan, dan lain-lain. Di samping itu, keaktifan siswa merupakan bentuk pembelajaran mandiri, yaitu siswa berusaha mempelajari segala sesuatu atas kehendak dan kemampuannya/ usahanya sendiri, sehingga dalam hal ini guru hanya berperan sebagai pembimbing,
motivator, dan fasilitator.

Di dalam suatu kelas, tingkat kecerdasan dan keaktifan siswa berbeda- beda. Oleh karena itu, guru harus mampu memperlakukan siswa dengan baik berdasarkan tingkat kecerdasannya dan mampu membuat semua siswa aktif dalam pembelajaran.
Berdasarkan hasil observasi awal ditemukan ada beberapa kekurangan dalam proses pembelajaran kimia yang selama ini diterapkan di kelas XI IPA SMA Teuku Umar Semarang, antara lain:
1. dalam metode penyampaian materi hanya berlangsung satu arah (pihak guru) atau di kenal dengan metode ceramah.
2. kurangnya keterlibatan siswa secara aktif dalam pembelajaran.

3. kurangnya kemandirian siswa dalam belajar.

Hasil pengamatan menunjukkan rata-rata nilai akhir kimia kelas XI IPA adalah 6,01. Persentase siswa yang mendapat nilai di bawah 6 (enam) untuk mata pelajaran kimia sebesar 60 %. Sementara tujuan dari KBK adalah siswa dapat mencapai ketuntasan belajar. Belajar tuntas berarti penguasaan penuh (bahan yang dipelajari dikuasai sepenuhnya) (Nasution, 2003:36). Sedangkan menurut Mulyasa (2005:99), siswa dikatakan telah belajar tuntas apabila mencapai nilai 65% dari tujuan pembelajarannya. Dengan kata lain nilai Standar Ketuntasan Belajar Mengajar (SKBM) adalah 6,5. Dengan demikian, masih banyak siswa kelas XI IPA yang belum tuntas dalam belajarnya.

Mengingat pentingnya proses pembelajaran kimia sebagai langkah untuk meningkatkan prestasi belajar siswa, maka kelemahan-kelemahan dalam
proses pembelajaran harus diperbaiki. Oleh karena itu perlu dilakukan peningkatan kualitas proses belajar mengajar dengan tindakan kelas.
Saat ini telah banyak upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, seperti penerapan metode diskusi, metode latihan, metode tanya jawab, dan lain-lain. Dalam pelaksanaan metode-metode tersebut dilakukan berbagai pendekatan pembelajaran supaya metode mengajar lebih efektif. Dalam penelitian ini pendekatan yang dilakukan adalah Modification of Reciprocal Teaching, yaitu pendekatan pembelajaran yang menggabungkan pembelajaran konvensional dengan pembelajaran berbalik. Dengan pendekatan ini diharapkan siswa dapat lebih aktif dan lebih semangat dalam mengikuti proses pembelajaran yang disertai peningkatan hasil belajar.

Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis tertarik untuk memilih judul “Peningkatan Hasil Belajar Kimia dengan Pendekatan Modification of Reciprocal Teaching Pokok Bahasan Larutan Penyangga Siswa Kelas XI Semester II SMA Teuku Umar Semarang Tahun Pelajaran 2005/2006.”

Untuk mendapatkan koleksi Judul Tesis Lengkap dan Skripsi Lengkap dalam bentuk file MS-Word, silahkan klik download
Atau klik disini

Pengaruh Motivasi, Dukungan Orang Tua Dan Asal Sekolah Terhadap Prestasi Belajar Mata Pelajaran Akuntansi Pada Siswa Kelas II MA AL-ASROR (PAK-2)

1.1 Latar Belakang Masalah
Kualitas sumber daya manusia sangat dibutuhkan oleh setiap negara baik untuk negara yang sudah maju maupun yang sedang berkembang. Oleh karena itu, agar dapat menciptakan sumber daya manusia yang baik dan berkualitas harus diawali dengan peningkatan terhadap kualitas pendidikan itu sendiri.

Pendidikan merupakan sarana utama di dalam membentuk dan menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas baik melalui pendidikan informal di rumah maupun melalui pendidikan formal di sekolah. Tanpa adanya pendidikan formal dan informal akan sulit untuk mencetak kualitas sumber daya manusia yang baik yang dapat menentukan masa depan bangsa sendiri. Sekolah sebagai lembaga pendidikan dituntut untuk selalu meningkatkan kualitas atau mutu suatu sekolah itu sendiri sesuai dengan kerangka pendidikan nasional.


Sebagaimana ditetapkan dalam UU No 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional, pendidikan nasional bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang maha Esa dan
berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan, kesehatan jasmani dan rohani,
kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

Dengan demikian, setelah kualitas pendidikan itu diperbaiki disesuaikan dengan perkembangan zaman maka semua potensi yang dimiliki oleh peserta didik selaku generasi penerus bangsa akan maju dan berkembang sesuai dengan potensi masing-masing melalui aktivitas belajar di sekolah, sehingga apa yang menjadi tujuan belajar tersebut dapat tercapai yang terwujud dalam suatu prestasi belajar.

Prestasi belajar sangat penting sekali sebagai indikator keberhasilan baik bagi seorang guru maupun siswa. Bagi seorang guru, prestasi belajar siswa dapat dijadikan sebagai pedoman penilaian terhadap keberhasilan dalam kegiatan membelajarkan siswa. Seorang guru dikatakan berhasil menjalankan program pembelajarannya apabila separo atau lebih dari jumlah siswa telah mencapai tujuan instruksional baik tujuan instruksional khusus maupun umum. Sedangkan bagi siswa, prestasi belajar merupakan informasi yang berfungsi untuk mengukur tingkat kemampuan atau keberhasilan belajarnya, apakah mengalami perubahan yang bersifat positif maupun perubahan yang bersifat negatif.

Tidak ada seorang pun siswa yang tidak menginginkan suatu prestasi belajar yang baik. Namun untuk memperoleh semua itu tidaklah mudah karena mengingat adanya perbedaan setiap individu baik motivasinya, karakternya, cita-citanya dan lain-lain yang dimiliki oleh setiap siswa. Dengan perbedaan yang demikian akan menyebabkan tercapainya suatu prestasi belajar yang berbeda pula yaitu prestasinya ada yang tergolong tinggi, sedang dan rendah. Hal ini dapat terjadi karena banyaknya faktor yang mempengaruhi prestasi belajar yang diantaranya faktor motivasi, dukungan orang tua dan asal sekolah.

Motivasi adalah salah satu faktor psikologis yang dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa. Karena dalam motivasi tersebut terdapat unsur-unsur yang bersifat dinamis dalam belajar seperti perasaan, perhatian, kemauan dan lain-lain. Motivasi belajar ini tidak hanya tumbuh dari dalam diri siswa melainkan motivasi juga dapat muncul berkat adanya daya penggerak dari orang lain guna menambah semangat belajar siswa baik di rumah maupun di sekolah.

Selain motivasi, faktor lain yang dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa adalah dukungan orang tua. Dukungan orang tua meliputi dukungan moral yang berupa perhatian. Perhatian dari orang tua merupakan harapan semua anak di masa pertumbuhan dan perkembangannya. Di masa-masa itu seorang anak lebih terpengaruh dengan faktor lingkungan baik lingkungan keluarga, sekolah, maupun lingkungan pergaulan di masyarakat, sehingga anak harus diperhatikan dan diarahkan oleh orang tuanya khususnya dalam bidang pendidikannya agar perencanaan untuk masa depan lebih jelas dan terarahkan. Sedangkan dukungan orang tua yang berupa material menyangkut keadaan ekonomi orang tua yang dapat digunakan untuk biaya pendidikan serta untuk melengkapi peralatan maupun perlengkapan belajar. Keadaan suatu keluarga yang kelas ekonominya menengah ke bawah akan merasa kesulitan dalam memenuhi kebutuhan anaknya yang tentunya berkaitan dengan fasilitas belajar. Dengan demikian keadaan tersebut akan sangat mempengaruhi kegiatan belajar anak dan berdampak pada prestasi belajar yang diraih anak tersebut.

Di luar motivasi dan dukungan orang tua, asal sekolah pun juga dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa. Asal sekolah di sini dikelompokkan menjadi dua yaitu SMP dan MTs. Pada dasarnya setiap siswa yang berasal dari latar belakang / asal sekolah yang berbeda maka pengetahuan yang diperoleh setiap siswa juga berbeda. Perbedaan asal sekolah ini akan berdampak pada pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh oleh setiap siswa khususnya untuk mata pelajaran akuntansi. Walaupun pada jenjang pendidikan di SMP / MTs itu tidak ada mata pelajaran akuntansi, tetapi ada mata pelajaran lain yang berkaitan dengan mata pelajaran akuntansi yaitu mata pelajaran ekonomi. Jumlah jam mata pelajaran ekonomi antara yang di SMP dengan yang di MTs sama yaitu sebanyak dua jam pelajaran setiap minggunya. Meskipun demikian kurikulum antara kedua asal sekolah tersebut tidak sama yaitu jumlah mata pelajaran yang ada di MTs lebih banyak dibandingkan dengan jumlah mata pelajaran yang ada di SMP. Hal ini akan berdampak pada tingkat daya serap siswa yang berbada-beda terhadap pemahaman sejunlah materi pelajaran yang dipelajarinya.

Selain itu, metode pembelajaran serta kemampuan setiap guru ekonomi antara sekolah yang satu dengan lainnya juga tidak sama. Sehingga dengan perbedaan-perbedaan tersebut akan berpengaruh terhadap intensitas pengetahuan maupun pengalaman yang diperoleh siswa.

Madrasah Aliyah (MA) Al-Asror Patemon Gunungpati Semarang adalah salah satu sekolah yang dipilih oleh penulis sebagai obyek penelitian, karena di Madrasah Aliyah tersebut didalam penerimaan siswa baru bersifat terbuka. Maksud dari keterbukaan tersebut adalah bahwa di MA Al-Asror ini tidak menutup peluang bagi siswa-siswi yang ingin masuk baik yang berasal dari SMP maupun MTs baik swasta ataupun negeri.

Di dalam proses pembelajaran di MA tersebut, seorang guru tidak membedakan siswa antara siswa yang berasal dari SMP maupun MTs melainkan pada saat pembelajaran setiap siswa diberi kesempatan yang sama untuk menunjukkan kemampuan belajarnya guna mencapai suatu prestasi belajar.
Siswa kelas II MA Al-Asror Patemon Gunungpati Semarang tahun ajaran 2004/2005 yang jumlah siswanya sebanyak 142 siswa yang terdiri dari kelas IIA sebanyak 48 siswa, kelas IIB sebanyak 46 siswa dan kelas IIC sebanyak 48 siswa.

Untuk mata pelajaran akuntansi kelas II diampu oleh seorang guru baik untuk kelas A,B dan C yang tentunya tidak berbeda dalam penyampaian materinya untuk tiap kelas tersebut. Meskipun demikian, pemahaman siswa terhadap mata pelajaran akuntansi berbeda-beda yang kemudian akan berdampak pada pencapaian prestasi belajar yang berbeda pula yaitu ada yang tergolong rendah dan ada pula yang tergolong tinggi. Di MA Al Asror Patemon Gunungpati Semarang khususnya kelas II tahun pelajaran 2004 / 2005 juga mengalami hal yang demikian, yaitu prestasi belajar yang diperoleh setiap siswa sangat bervariasi. Hal ini dibuktikan pada nilai yang diperoleh sewaktu siswa masih duduk di kelas I khususnya untuk mata pelajaran akuntansi. Nilai yang diperoleh siswa setiap akhir semester ini merupakan nilai gabungan antara nilai harian, nilai mid semester dan nilai ujian akhir semester kemudian dirata-rata dan hasilnya masih banyak yang berada di bawah 6,5 atau 7.

Untuk mengetahui apakah prestasi belajar siswa tersebut mengalami peningkatan atau bahkan penurunan, penulis bermaksud untuk mengadakan penelitian di sekolah tersebut untuk mengungkap faktor-faktor yang dapat mempengaruhi prestasi belajar tersebut yang meliputi faktor motivasi, dukungan orang dan asal sekolah.
Berbicara tentang pendidikan khususnya dalam hal prestasi belajar, sosok guru sering dituduh sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap kualitas pendidikan. Padahal bukan guru saja yang menjadi faktor penentu melainkan orang tua juga ikut menentukan, karena pada dasarnya pendidikan anak yang pertama dan utama adalah dari orang tua.

Selama ini masih banyak siswa yang beranggapan bahwa mata pelajaran akuntansi itu sulit, karena materinya sebagian besar adalah hitungan sehingga memerlukan banyak latihan. Dan biasanya siswa itu segan untuk mempelajari materi pelajaran yang ada hitubgannya seperti matematika, akuntansi dan lain-lain. Padahal ketrampilan menghitung itu sangat penting untuk dipelajari baik untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya ataupun untuk kehidupan sehari-hari.

Mengingat begitu pentingnya aspek motivasi, dukungan orang tua dan asal sekolah terhadap mata pelajaran akuntansi, maka diperlukan Pemahaman secara tuntas dan mendalam tentang aspek-aspek tersebut agar pengelolaan pendidikan di MA Al-Asror Patemon Gunungpati Semarang khususnya untuk kelas II tentang mata pelajaran akuntansi dapat berjalan dengan baik. Atas dasar hal tersebut diatas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “ Pengaruh motivasi, dukungan orang tua dan asal sekolah terhadap prestasi belajar mata pelajaran akuntansi pada siswa kelas II MA Al-Asror Patemon Gunungpati Semarang tahun pelajaran 2004 / 2005”.

Untuk mendapatkan koleksi Judul Tesis Lengkap dan Skripsi Lengkap dalam bentuk file MS-Word, silahkan klik download
Atau klik disini

Peranan Diskusi Pemecahan Masalah Pd Event Semarak Pesta Fanta Yg Dilakukan Oleh Event Department Radio Ardan Dalam Menumbuhkan Prestasi (KM-8)

I.1 Latar Belakang Masalah
Faktor manusia dalan kegiatan organisasi, antara pimpinan dengan staf dalam hubungan mereka satu sama lain adalah suatu hal terpenting yang harus diperhatikan dalam usaha mencapai produktivitas yang optimal. Tidak ada perusahaan yang dapat mengabaikan hubungan manusia tersebut, walau imbalan materi kepada tenaga kerjanya setinggi apapun.

Dalam kebanyakan organisasi, kita dapat melihat orang-orang bekerja dalam kelompok dan tim untuk menyelesaikan masalah. Kualitas setiap keputusan merupakan fungsi dari proses-proses yang digunakan sampai membuahkan keputusan. Jadi butuh usaha dan waktu yang cukup panjang dalam proses pengambilan keputusan. Proses yang diikuti oleh kelompok dalam memecahkan masalah mempengaruhi kualitas solusinya.

Dalam kehidupan sehari-hari, pengertian diskusi merupakan istilah yang sudah lazim dan telah sama-sama kita kenal. Diskusi atau musyawarah merupakan suatu cara untuk memecahkan masalah (problem solving), kegiatan diskusi merupakan bagian dari kegiatan komunikasi kelompok. Diskusi dipandang sebagai kegiatan pemecahan masalah, sebagai proses yang melibatkan dua atau lebih manusia yang saling berinteraksi satu sama lain atau berkomunikasi secara lisan dalam kelompok tatap muka yang kecil.
Suatu kelompok memiliki tujuan yang hendak dicapai salah satunya adalah pemecahan masalah (problem solving), dan pemecahan masalah itu dapat dilakukan dengan cara diskusi. Diskusi kasus biasanya diadakan untuk tujuan pengajaran yaitu diskusi suatu kasus yang disampaikan secara tertulis atau lisan. Kasus yang dibahas biasanya adalah mengenai suatu keadaan nyata atau hipotesis yang dalam beberapa hal berhubungan dengan materi yang akan dipelajari kelompok. (Soemiati & Yusuf, 1985:91). Diskusi dapat dibedakan berdasarkan penggunaannya, yaitu : apakah untuk memberikan informasi, merangsang perhatian, memecahkan masalah atau merangsang kreativitas. Titik berat dari sebagian diskusi-diskusi yang sengaja dilakukan adalah memusatkan perhatiannya pada pemecahan masalah.

Kelompok Pemecahan Masalah adalah : “ Sekumpulan individu yang bertemu untuk memecahkan suatu masalah tertentu atau untuk mencapai suatu keputusan mengenai beberapa masalah tertentu “. (Devito, 1996:304).
Diskusi adalah : “ Memperbincangkan keuntungan dan kerugiannya, bentuk pikiran atau perdebatan. Jadi diskusi ialah : semacam pembicaraan bebas (free talk) yang diarahkan untuk pemacahan masalah “. (Kartono, 1994:131).

PT. Radio Ardan Swaratama adalah salah satu radio swasta di Bandung. Ardan adalah sebuah stasiun radio anak muda yang dilengkapi fasilitas berupa music room (musro), café, internet (dapat didengar melalui fasilitas real audio diseluruh dunia), dan sebuah OB Van yang diberi nama Cyber Obee (siaran langsung dari lokasi). Smart, cuek, positif, kreatif, low profile, dan peduli terhadap sekeliling adalah gaya siaran Ardan. Akan tetapi dengan banyaknya Radio swasta yang bermunculan, maka persaingan pun semakin ketat, oleh karena itu salah satu cara untuk mengatasi persaingan tersebut adalah mendirikan sebuah department yang diberi nama Bussines Development Department (BDD).

Bussines Development Department (BDD) ini dikepalai oleh seorang Head Of BDD, dan Bussines Development Department ini membawahi beberapa divisi, antara lain yaitu : yang pertama Ardan Music Studio, merupakan studio musik yang dipergunakan untuk rental band, dan bisa digunakan untuk ruangan meeting. Yang kedua Event , yang tidak hanya melaksanakan Event yang bersifat lokal, tetapi juga bersifat nasional, misalnya Event “Djarum Super Insomniac” dilaksanakan dibeberapa kota besar di Jawa seperti Bandung, Jakarta, Yogyakarta, Solo, Semarang, Surabaya, dan kota-kota lainnya. Yang ketiga Café. Dan divisi yang terakhir dari BDD adalah Koperasi.
Dengan adanya event-event yang akan dilaksanakan, membuat para karyawan Event Department dituntut untuk mengeluarkan ide mereka dalam diskusi pemecahan masalah, mengenai konsep acara yang akan dilaksanakan dalam event yang akan berlangsung. Begitu pula pada saat event Semarak Pesta Fanta akan berlangsung, seluruh karyawan diminta untuk mengeluarkan ide-ide mereka mengenai konsep acara yang akan dilaksanakan nantinya dalam sebuah diskusi.

Model diskusi yang digunakan pada saat diskusi berlangsung adalah model diskusi Brainstorming (curah pendapat), dimana semua peserta diminta mengemukakan saran secara cepat dan spontan, kemudian seluruh anggota mengevaluasi saran tersebut. Pendapat atau ide-ide yang datangnya dari sekelompok orang tentunya akan lebih berkualitas daripada yang datangnya dari satu orang. Satu orang tidak bisa mendatangkan argumentasi dan masukan yang cukup, hal tersebut penting untuk diperoleh guna mencapai satu jalan keluar atau solusi yang berkualitas. Masalahnya ialah apabila pengalaman dan latarbelakang pendidikan tiap individu dalam kelompok bisa digali dan dimanfaatkan, hasilnya (output) yang dikeluarkan juga tentu lebih bermutu.

Event Semarak Pesta Fanta, tidak hanya dilaksanakan di Bandung tetapi dilaksanakan dibeberapa kota besar di Jawa yaitu Semarang, Bogor, Malang, Yogyakarta, dan Jakarta. Team pelaksana acara “Semarak Pesta Fanta’ sepenuhnya dilaksanakan oleh Visicomm yang bekerjasama dengan Local Operation (daerah). Untuk pelaksanaan di Bandung Visicomm menunjuk Event Radio ardan sebagai Local Partner.

Tujuan utama dari acara semarak Pesta Fanta adalah : yang pertama menguatkan positioning Fanta ‘hura-hura bareng teman’ dengan memberikan kesempatan kepada kawula muda untuk menikmati Fanta sekaligus memberikan berbagai macam acara yang menarik. Yang kedua meningkatkan loyalitas konsumen Fanta melalui peningkatan intensitas hubungan emosional konsumen dengan Fanta. Yang terakhir membantu Coca-cola Amatil untuk meningkatkan penjualan dan market share di wilayahnya.
Konsep acara yang dilaksanakan pada Event Pesta Semarak Fanta adalah acara musik yang diisi oleh Band Top Indonesia dan Band Local. Untuk pelaksanaan di Bandung Band Top Indonesia diisi oleh Coklat dan The Groove. Sedangkan untuk Band Local diisi oleh Kremlin, Cantique, D’lyreeks, Bobibenz, Copper Head, Beruang Madu, dan Cheers Leaders dari SMU BPI.

Selain dimeriahkan oleh acara musik, Event Semarak Pesta Fanta dimeriahkan juga oleh stand-stand games seperti paint ball, man table soccer, sharp shooting, dart game, remote control & race, lempar bola, lempar gelang. Selain stand game ada juga stand fortune teller, nail & hair coloring, temporary tattoo, pernak-pernik, junk food, traditional food, jajanan pasar, stand oleh-oleh dan stand merchandise.
Objek yang diteliti dalam penelitian ini dan yang menjadi responden adalah Karyawan Event Department Radio Ardan. Dari uraian yang telah dijelaskan diatas, maka penulis merasa tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai : “ Peranan Diskusi Pemecahan Masalah Pada (Event Semarak Pesta Fanta) Yang Dilakukan Oleh Event Department Radio Ardan Dalam Menumbuhkan Prestasi Kerja Karyawan ”.

Untuk mendapatkan koleksi Judul Tesis Lengkap dan Skripsi Lengkap dalam bentuk file MS-Word, silahkan klik download
Atau klik disini

Pesan Tentang Narkoba Dalam Film Trainspotting (Studi Dengan Pendekatan Semiotika) (KM-09)

A. Latar Belakang Masalah
Film sebagai hasil karya manusia dalam proses aktivitas berfikirnya telah mampu ikut berperan dalam merubah dan mempengaruhi peradaban dunia hingga saat ini. Hal ini diawali dengan peristiwa pada 28 Desember 1895 bertempat di ruang bawah tanah Grand Café di Boulevard de Capucines No. 14 Perancis, dimana Lumiere bersaudara mempertontonkan “hasil percobaannya” kepada para pengunjung kafe itu. Pertunjukan yang diiklankan sebagai “keajaiban gambar hidup” itu dalam kenyataannya membuat penonton takjub, tertawa-tawa, dan juga riuh karena terkaget-kaget.

Sejak peristiwa itu film terus berkembang dari waktu ke waktu tidak hanya teknis pembuatannya yang sebelumnya hanya sebuah gambar bergerak (motion picture) dan berlangsung tanpa pelengkap suara. Tetapi juga perkembangan fungsi, film tidak hanya berfungsi sebagai media hiburan saja tapi lebih dari itu bisa sebagai media propaganda dengan muatan pesan guna mempengaruhi khalayak penontonnya sebagaimana yang dikehendaki oleh pembuatnya. Hal ini disadari dalam sebuah kajian tentang keefektifan pesan yang disampaikan melalui media film.

Walaupun pada awal kemunculannya film dipahami sebagai karya seni sebagai wujud kreatifitas manusia, tetapi dalam perkembangannya film tidak lagi dimaknai sekedar hanya sebagai karya seni (film as art), tetapi juga sebagai “praktik sosial” serta “komunikasi massa”. Terjadinya pergeseran perspektif ini, paling tidak , telah mengurangi bias normative dari teoritisi film yang cenderung membuat idealisasi dan karena itu mulai meletakkan film secara objektif (Irawanto, 1999:10).

Baik perspektif praktek sosial maupun komunikasi massa, sama-sama lebih melihat kompleksitas aspek-aspek film sebagai medium komunikasi massa yang beroperasi didalam masyarakat. Dalam perspektif praktek sosial, film tidak dimaknai sebagai ekspresi seni pembuatnya, tetapi melibatkan interaksi yang komplek dan dinamis dari elemen-elemen pendukung proses produksi. Bahkan, lebih luas lagi, perspektif ini mengasumsikan interaksi antara film dengan ideologi kebudayaan dimana film diproduksi dan dikonsumsi.

Sedangkan dalam perspektif komunikasi massa, film dimaknai sebagai pesan-pesan yang disampaikan dalam komunikasi filmis, yang memahami hakikat, fungsi dan efeknya. Perspektif ini memerlukan pendekatan yang terfokus pada film sebagai proses komunikasi. Disamping itu, dengan meletakkan film dalam konteks sosial, politik dan budaya dimana proses komunikasi itu berlangsung, sama artinya dengan memahami pilihan penonton yang pada gilirannya menciptakan citra penonton film. Pendeknya, akan lebih bisa ditangkap hakikat dari proses menonton, dan bagaimana film berperan sebagai sistem komunikasi simbolis.

Kemampuan film dalam menjangkau banyak segmen sosial, telah menyadarkan para ahli bahwa film memiliki potensi untuk mempengaruhi khalayaknya. Karena itu mulai merebaklah studi yang hendak melihat dampak film terhadap masyarakat. Ini bisa dilihat dari sejumlah penelitian film yang mengambil berbagai topik tentang pengaruh film terhadap anak, film dan masyarakat, film dan politik dan seterusnya.
Dalam banyak penelitian tentang dampak film terhadap masyarakat, hubungan antara film dan masyarakat selalu dipahami secara linier. Artinya, film selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan (message) dibaliknya, tanpa pernah berlaku sebaliknya.

Karakteristik film sebagai media juga mampu membentuk semacam konsensus publik secara visual (visual public concensus), karena film selalu bertautan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan selera publik. Dengan kata lain, film merangkum pluralitas nilai yang ada dalam masyarakat.
Dalam perspektif Marxian, film sebagai institusi sosial dianggap memiliki aspek ekonomis sekaligus ideologis. Film senantiasa berkisar pada produksi representasi, bagi masyarakat yang telah disiapkan untuk berharap memperoleh kesenangan di dalam sistem yang menjamin berputarnya kapital.

Menurut Claire Johnston (Turner, dalam Irawanto, 1999:11), pentingnya kajian film dalam kebudayaan Marxis terletak pada fokus film dalam hubungannya dengan produksi, dibandingkan pada konsumsi. Film sebagai produksi makna melibatkan baik pembuat maupun penonton film.

Dalam proposisi yang ekstrem, kajian marxis tentang film bukanlah terfokus pada bentuk atau isi, tetapi pada beroperasinya film dalam pertautannya dengan subjektivitas proses konstruksi, apapun jenis”pencipta’ dan “penikmat” yang dihasilkannya. Dengan kata lain, pentingnya kajian film dalam perspektif Marxian terletak pada cara representasi itu sendiri yang juga tampak sebagai pertanyaan politis (Irawanto, 1999:13).

Bagaimanapun, hubungan antara film dan ideologi kebudayaannya bersifat problematis. Karena film adalah produk dari struktur sosial, politik, budaya tetapi juga sekaligus membentuk dan mempengaruhi dinamika struktur tersebut.
Dengan demikian posisi film sesungguhnya berada dalam tarik ulur dengan ideologi kebudayaan dimana film itu diproduksi. Bagaimanapun ini menunjukkan bahwa film tidak pernah otonom dari ideologi yang melatarinya.

Kesadaran masyarakat akan pengaruh film, sangatlah diperlukan sekali guna menghindari pengaruh film yang negatif begitu juga sebaliknya mengambil manfaat film yang positif, karenanya dibutuhkan daya apresiasi masyarakat yang baik terhadap sebuah film, yaitu dengan menangkap muatan pesan, baik yang nampak maupun yang tersirat melalui kode-kode atau simbol-simbol yang terkandung didalamnya.

Sebagai refleksi realitas kehidupan sosial, film seringkali menjadi tolak ukur peristiwa yang terjadi di masyarakat yang akhirnya diangkat kelayar lebar. Hal ini juga yang mendasari sutradara Danny Boyle mengangkat sebuah novel karya Irvine Wels ke dalam bentuk film dengan judul “trainspotting” yang dibuat pada tahun 1996.
Sebuah film yang bercerita tentang perilaku anak muda yang terjebak dan terbelenggu dalam dunia narkotika dan obat-obatan berbahaya (narkoba), dimana narkoba telah menghancurkan masa depan para penggunanya. Pemuda sebagai generasi penerus bangsa ternyata menjadi problem tersendiri didalam masyarakat dengan perilaku yang telah dibuatnya, sebagai efek dari penyalahgunaan obat yang dikonsumsinya.

Film trainspotting ini termasuk salah satu film independen, yang dibuat bukan untuk tujuan komersial melainkan lebih merupakan tanggung jawab moral terhadap realitas yang terjadi, lalu mengangkatnya kedalam bentuk film dengan muatan pesan tentang informasi narkoba, bahaya penyalahgunaan narkoba dan akibat-akibat yang ditimbulkannya.

Film ini menarik untuk diteliti, karena mengandung muatan pesan yang dikemas begitu apik, yang menggambarkan kondisi sosial tidak hanya satu negara tetapi sudah hampir semua negara mempunyai problem semacam ini, yang merepresentasikan keprihatinan semua pihak guna menyadarinya untuk menjadikannya tanggung jawab bersama dalam menangani bahaya penyalahgunaan narkotika dan psikotropika.

Untuk mendapatkan koleksi Judul Tesis Lengkap dan Skripsi Lengkap dalam bentuk file MS-Word, silahkan klik download
Atau klik disini

Minat Mahasiswa Sendratasik Program Studi Seni Musik Fakultas Bahasa Dan Seni Universitas Negeri Semarang Terhadap Musik Kontemp (PS-1)

A. Latar Belakang
Kebudayaan merupakan hasil cipta dan karsa manusia adalah suatu kekayaan yang sampai saat ini masih kita miliki dan patut kita pelihara. Tiap masyarakat mempunyai kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan masyarakat lain. Beragamnya kebudayaan inilah yang menjadi bukti bahwa bangsa kita kaya akan budaya.

Menurut Ralph Linton (dalam Ihromi, 2000:18), kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarkat manapun dan tidak hanya mengenai sebagian dari cara hidup yang oleh masyarakat dianggap lebih tinggi atau lebih diinginkan. Meskipun banyak perbedaan diantara kebudayaan-kebudayaan manusia, namun isi dari kebudayaan yang berbeda itu dapat digolongkan ke dalam sejumlah kategori yang sama. Menurut Koentjoroningrat (dalam Ihromi, 2000:xx) kebudayaan terdiri dari tujuh kategori yaitu sistem peralatan hidup, norma, sistem kemasyarakatan, bahasa religi, dan kesenian.

Dari uraian di atas menunjukan bahwa kesenian merupakan salah satu dari tujuh kategori kebudayaan. Ini berarti kesenian adalah salah satu kebudayaan manusia yang sampai sekarang masih bertahan. Adapun kesenian itu sendiri mencakup seni pahat, seni lukis, seni tari, dan seni musik. Dari kelima seni tersebut yang akan dibahas dalam masalah ini adalah seni musik.

Seni musik merupakan salah satu kekayaan budaya yang selalu berkembang sejalan dengan berjalannya waktu. Oleh Jamalus (1998:1) musik adalah suatu hasil karya seni bunyi dalam bentuk lagu atau komposisi musik, yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penciptanya melalui unsur-unsur musik yaitu irama, melodi, harmoni, bentuk atau struktur lagu, dan ekspresi sebagai satu kesatuan. Lagu atau komposisi musik tersebut baru merupakan suatu hasil karya seni jika diperdengarkan dengan menggunakan suara (nyanyian) atau dengan alat-alat musik.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat menikmati karya musik melalui beberapa cara, di antaranya dengan menonton pertunjukan musik secara langsung di tempat pertunjukan ataupun menikmatinya melalui media audio serta audio visual. Jenis musik yang disajikan oleh beberpa tempat pertunjukan ataupun media itu pun bermacam-macam, sehingga kita bisa leluasa memilih jenis musik yang sesuai dengan selera kita, misalnya musik klasik, pop, rock, jazz,
blues, disco, dangdut, keroncong, campursari, dan yang lainnya termasuk musik kontemporer.

Beragam jenisnya musik yang disajikan oleh berbagai media pertunjukan tersebut menunjukan bahwa selera atau minat masyarakat terhadap jenis musik beragam pula. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa hal seperti lingkungan, status sosial, pendidikan, sarana dan prasarana serta faktor-faktor yang lain. Menurut Walgito (1997:38) minat adalah suatu keadaan dimana seseorang mempunyai perhatian terhadap obyek-obyek disertai dengan keinginan-keinginan untuk mengetahui dan mempelajari maupun membuktikannya lebih lanjut tentang obyek tertentu dengan pengertian adanya kecenderungan untuk berhubungan lebih aktif terhadap obyek tersebut. Demikian halnya dengan peminat musik kontemporer. Peminat musik kontemporer tentunya juga mempunyai alasan atau latar belakang tertentu dalam menyukai musik ini.

Perlu kita akui dan sadari, bahwa hingga saat ini peminat musik kontemporer belumlah begitu banyak seperti halnya peminat musik pop, dangdut, atau jenis musik lain yang sudah populer di kalangan masyarakat umum. Musik kontemporer memang tidak sepopuler seperti jenis-jenis musik tersebut di atas, hanya kalangan tertentu saja yang mempunyai minat untuk menikmatinya, sebagai contohnya adalah para
mahasiswa yang mempelajari musik pada program studi seni musik di berbagai perguruan tinggi, termasuk mahasiswa jurusan Sendratasik (Prodi) program studi Seni Musik (FBS) Fakultas Bahasa dan Seni (UNNES) Universitas Negeri Semarang. Walaupun demikian, bukan berarti semua mahasiswa menyukai musik kontemporer karena masih ada juga sebagian mahasiswa yang tidak berminat pada jenis musik ini, dan cenderung lebih suka memainkan serta menikmati musik jenis lain, misalnya pop, dangdut, rock, hip-hop, R&B, dan lain sebagainya.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa musik kontemporer belumlah sepopuler seperti jenis musik lainnya, dan belum tentu semua orang berminat serta bisa menikmatinya. Dalam penelitian ini, penulis akan meneliti minat mahasiswa Sendratasik Prodi Seni Musik FBS UNNES terhadap musik kontemporer, khususnya pada angkatan
2002/2003.