PERS DALAM DEMOKRATISASI DI INDONESIA (Kajian Tentang Peranan Pers Dalam Peristiwa Revolusi Mei 1998 (IPM-01)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Demokrasi sebagai dasar hidup berbangsa pada umumnya memberikan pengertian bahwa adanya kesempatan bagi rakyat untuk ikut memberikan ketentuan dalam masalah-masalah pokok yang mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijakan pemerintah, oleh karena kebijakan tersebut menentukan kehidupannya. Dengan kata lain dalam suatu negara demokrasi terdapat kebebasan-kebebasan masyarakat untuk berpartisipasi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan

Agar masyarakat dapat berperan serta dalam mempengaruhi proses pembuatan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah, maka perlu adanya sarana atau media yang akan digunakan dalam partisipasi tersebut. Salah satu sarana yang dapat digunakan masyarakat dalam partisipasi politik adalah pers.

Dalam proses demokratisasi faktor komunikasi dan media massa mempunyai fungsi penyebaran informasi dan kontrol sosial. Pers merupakan media komunikasi antar pelaku pembangunan demokrasi dan sarana penyampaian informasi dari pemerintah kepada masyarakat maupun dari masyarakat kepada pemerintah secara dua arah. Komunikasi ini diharapkan menimbulkan pengetahuan, pengertian, persamaan persepsi dan partisipasi masyarakat sehingga demokrasi dapat terlaksana.

Sebagai lembaga sosial pers adalah sebuah wadah bagi proses input dalam sistem politik. Diantara tugasnya pers berkewajiban membentuk kesamaan kepentingan antara masyarakat dan negara sehingga wajar sekali apabila pers berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan kepentingan pemerintah dan masyarakat. Untuk itu dibutuhkan keterbukaan pers untuk secara baik dan benar dalam mengajukan kritik terhadap sasaran yang manapun sejauh hal itu benar-benar berkaitan dengan proses input.
Demokrasi sering kali datang bersamaan dengan semacam gelombang revolusioner dari mobilisasi rakyat, yakni gelombang pasang rakyat yang bersamanya berbagai unsur masyarakat terbawa dalam suatu gelombang massa yang mencari identitasnya dengan berbagai unjuk rasa. Mobilisasi yang demikian bisa saja episodik dan terkendali yang mendesak agar dilakukan negosiasi-negosiasi untuk peralihan kearah demokrasi. Atau mungkin juga berbentuk suatu gelombang massa yang sulit terbendung, seperti yang pernah terjadi di Indonesia dimana terjadinya mobilisasi massa secara besar-besaran yang dipelopori oleh mahasiswa untuk menumbangkan rezim pemerintahan yang otoriter dan menciptakan demokrasi. Mobilisasi massa atau gerakan revolusioner yang terjadi di Indonesia pada bulan Mei 1998, didukung oleh berbagai kalangan tak terlepas juga dukungan dan peranan pers.

Ada banyak peranan yang dilakukan oleh pers dalam suatu negara dan dalam mewujudkan demokrasi. Namun, agar pers mampu menjalankan peranannya terutama dalam menunjang demokratisasi maka perlu adanya kebebasan pers dalam menjalankan tugas serta fungsinya secara professional. Media masa yang bebas memberikan dasar bagi pembatasan kekuasaan negara dan dengan demikian adanya kendali atas negara oleh rakyat, sehingga menjamin hadirnya lembaga-lembaga politik yang demokratis sebagai sarana yang paling efekif untuk menjalankan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat itu. Apabila negara mengendalikan media massa maka terhambatnya cara untuk memberitakan penyalahgunaan wewenang dan korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara.

Bagi suatu pemerintahan diktator kebenaran merupakan bahaya baginya, sebab kebenaran akan membuka seluruh jaringan tipu dayanya. Berita-berita yang berasal dari foto jurnalisme serta data dokumenter lainnya memang memiliki daya yang sangat kuat. Misi pertama pers dalam suatu masyarakat yang demokrartis atau suatu masyarakat yang sedang berjuang untuk menjadi demokratis adalah melaporkan fakta. Misi ini tidak akan mudah dilaksanakan dalam suatu situasi ketidak adilan secara besar-besaran dan pembagian yang terpolarisasi. Terkucilnya prospek kebebasan pers jelas merupakan bagian dari redupnya prospek demokratisasi.

Perkembangan dan pertumbuhan media massa atau pers di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari perkembangan dan pertumbuhan sistem politik dinegara ini. Bahkan sistem pers di Indonesia merupakan sub sistem dari sistem politik yang ada (Harsono Suwardi, 1993 : 23)

Di negara dimana sistem persnya mengikuti sistem politik yang ada maka pers cenderung bersikap dan bertindak sebagai “balancer” antara kekuatan yang ada. Tindakan atau sikap ini bukan tanpa alasan mengingat pers di negara berkembang seperi di Indonesia mempunyai banyak pengalaman bagaimana mereka mencoba mempertahankan keberadaannya sebagai pers yang bebas dan bertanggung jawab.

Banyak pers yang khawatir bahwa keberadaannya akan sirna manakala mereka tidak mengikuti sistem yang berlaku. Oleh karena itu guna mempertahankan keberadaannya, pers tidak jarang memilih jalan tengah. Cara inilah yang sering mendorong pers itu terpaksa harus bersikap mendua terhadap suatu masalah yang berkaitan dengan kekuasaan. Dalam kaitan ini pulalah banyak pers di negara berkembang pada umumnya termasuk di Indonesia lebih suka mengutamakan konsep stabilitas politik nasional sebagai acuan untuk kelangsungan hidup pers itu sendiri.
Diawal kekuasaannya, rezim pemerintahan orde baru menghadapi Indonesia yang traumatis. Suatu kondisi dimana kehidupan ekonomi, politik, sosial, budaya serta psikologis rakyat yang baru tertimpa prahara. Politik satu kata yang tepat ketika itu kemudian dijadikan formula orde baru, yakni pemulihan atau normalisasi secepatnya harus dilakukan, jika tidak kondisi bangsa akan kian berlarut-larut dalam ketidak pastian dan pembangunan nasional akan semakin tertunda.

Konsentrasi bangsa diarahkan untuk pembangunan nasional. Hampir seluruh sektor dilibatkan serta seluruh segmen masyarakat dikerahkan demi mensukseskan pembangunan nasional tersebut. Keterlibatan seluruh sektor maupun segmen masyarakat tersebut agaknya sebanding dengan beban berat warisan Orde Lama yang ditimpakan kepada Orde Baru. Pemerintah Orde Baru memprioritaskan trilogi pembangunannya yakni stabilitas, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan sebagai kata kunci yang saling berkait erat serta sebagai bagian doktrin negara.

Oleh karena pemerintah menitik beratkan pembaruan pada pembangunan nasional, maka sektor demokrasi akhirnya terlantarkan. Hal ini mungkin terpaksa dilakukan oleh karena sepeninggalan orde lama tidak satupun kekuatan non negara yang bisa dijadikan acuan dan preferensi, serta seluruh yang tersisa mengidap kerentanan fungsi termasuk yang melanda pers nasional. Deskripsi-deskripsi yang sering kali ditulis oleh para pemerhati pers menyatakan bahwa kehidupan pers diawal-awal orde baru adalah sarat dengan muatan represif, ketiadaan pers yang bebas, kehidupan pers yang ditekan dari segala penjuru untuk dikuasai negara, wartawan bisa dibeli serta pers yang bisa dibredel sewaktu-waktu.

Dalam sejarah demokratisasi di Indnesia, khususnya pada era orde baru yang mencapai puncaknya pada peristiwa revolusi Mei 1998 yang ditandai dengan berakhirnya rezim orde baru dan pengunduran diri presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998, pers mempunyai peranan yang sangat penting. Peranan tersebut tentunya tidak terlepas dari kedala dan hambatan yang mereka alami karena rezim pemerintahan orde baru dikenal sebagai rezim pemerintahan yang otoriter yang memasung hak masyarakat untuk berbicara.

Diakui bahwa pers Indonesia adalah bagian tak terpisahkan dari gerakan reformasi atau revolusi pada tahun 1998, yang mencapai momen bersejarah dengan pengunduran diri Soeharto setelah berkuasa selama 32 tahun pada 21 Mei 1998. Meskipun pers bukanlah pelopor gerakan revolusi itu, sulit dibayangkan bahwa gerakan revolusi yang dipelopori mahasiswa itu akan terus bergulir tanpa pemberitaan dan dukungan gencar media di Indonesia seperti pers.

Proses revolusi yang didahului oleh krisis ekonomi antara Agustus hingga September 1997 yang menyebabkan kemunduran dalam kehidupan dan kesejahteraan rakyat menjadi faktor pemicu persatuan rakyat dalam kelompok aktifis demokrasi seperti mahasiswa, kelompok intelektual dan bahkan kelompok politik yang terpinggirkan. Kekuasaan presiden Soeharto yang mendekati absolut menyebabkan faktor pemersatu diluar pemerintah bahkan menjadi semakin besar. Kondisi ini dipicu semakin keras oleh peranan pers yang menyiarkan pemberitaan yang semakin kritis terhadap pemerintah maupun penyajian opini publik mengenai kesalahan serta kelemahan kebijakan publik.

Seluruh gejolak yang terjadi dalam masyarakat ketika upaya menuntut pengunduran diri Soeharto merupakan lahan peristiwa dan isu yang sulit untuk tidak diolah oleh pekerja pers sebagai komoditi berita terlebih lagi krisis tersebut telah memperoleh pemberitaan gencar dari media luar negeri.

Pemberitaan seputar krisis ekonomi khususnya yang terjadi di Jakarta dan sejumlah kota besar di pulau Jawa telah menciptakan suatu lingkungan simbolik dimana masyarakat disemua bagian wilayah Indonesia merasa krisis tersebut juga terjadi dilingkungan dekatnya. Oleh karena itu eforia revolusi dengan cepat juga menjalar keberbagai daerah yang ditandai maraknya aksi demo mahasiswa dan aksi protes masyarakat di kota-kota kecil baik di Jawa maupun di luar Jawa.

Memang rezim penguasa berusaha keras untuk menekan pers agar tidak terlalu membesarkan krisis yang terjadi, khususnya dimasa awal krisis ketika nilai rupiah mulai semakin anjlok. Namun jurnalis seluruh media massa selalu menemukan celah-celah dimana berita serta analisis krisis bisa disajikan. Krisis dalam tataran makro struktur ekonomi-politik Orde Baru secara langsung mempengaruhi struktur hubungan kekuasaan antar pelaku sosial yang terlibat dalam proses memproduksi teks disektor media.

Beberapa waktu sebelum Soeharto lengser pada medio 1998 terjadi semacam power facum, dimana pihak pemilik perusahaan melepaskan diri dari intervensi yang dilakukan dalam memproduksi berita. Dalam kondisi semacam itu inisiatif hampir sepenuhnya ditangan jurnalis profesional. Seandainya para jurnalis sebagai aktor dengan kedudukan profesional yang signifikan disektor industri media tidak menagambil alih inisiatif untuk memproduksi teks pemberitaan seputar krisis dan mengemasnya sebagai teks yang melemahkan legitimasi rezim Orde Baru tentunya akan sulit struktur politik ditanah air bisa berubah dari struktur otoritarian menjadi struktur politik seperti yang ada saat sekarang ini.

Menurut hemat penulis upaya yang dilakukan oleh pers untuk mewujudkan demokrasi di tengah-tengah rezim pemerintah otoritarian yang senantiasa berusaha untuk mempertahankan kekuasaan merupakan hal yang menarik untuk diteliti. Selain itu pers merupakan lembaga sosial yang secara ideal nya bersifat netral, tidak untuk kepentingan kelompok orang-orang tertentu melainkan untuk semua orang. Untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana peranan pers dalam proses demokratisasi di Indonesia, maka penulis akan melakukan penelitian dengan judul “ Pers Dalam Demokratisasi di Indonesia, Kajian Tentang Peranan Pers Dalam Peristiwa Revolusi Mei 1998”

B. Perumusan Maslah
Pertumbuhan dan perkembangan dalam segala aspek kehidupan yang semakin pesat mendorong meningkatnya kebutuhan akan informasi yang secara tidak langsung mendorong peningkatan pertumbuhan media massa. Informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat tidak hanya terbatas pada hal bisnis dan ekonomi bahkan lebih jauh kebutuhan informasi tentang kebijakan pemerintah dan informasi tentang perkembangan politik yang terjadi serta tentang perilaku aparat pemerintahan.

Kebutuhan masyarakat akan informasi tentang kebijakan pemerintah dan situasi politik serta tentang perilaku aparat pemerintahan tersebut secara tidak langsung akan menjadi kontrol politik bagi pemerintah, yang pada akhirnya akan menunjang proses demokratisasi.

Upaya penyajian informasi yang dilakukan oleh insan pers tidak pernah lepas dari hambatan ataupun kendala mengingat sebuah fakta dan berita tentang kebobrokan pemerintah merupakan suatu bumerang yang berbahaya bagi rezim pemerintahan yang berkuasa dan dapat menggerogoti legitimasi rezim.

Dalam peristiwa revolusi Mei yang menjatuhkan suatu rezim pemerintahan Orde Baru di Indonesia, pers ikut ambil bagian dalam proses demokratisasi tersebut.
Dari sekelumit permasalahan yang telah penulis kemukakan sebelumnya maka dapat diidentifikasi permasalahan dari penelitiaan ini adalah peristiwa revolusi Mei 1998 yang terjadi di Indonesia tidak terlepas dari peranan pers walaupun pers mempunyai banyak kendala dan hambatan dalam mewujudkan demokratisasi pada era Orde Baru. Dengan demikian dapat dirumuskan permasalahan penelitian ini melalui pertanyaan penelitian, yakni : “Bagaimana peranan pers dalam demokratisasi di Indonesia khusunya dalam peristiwa revolusi Mei 1998 ?”

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
1.1. Untuk mendiskripsikan peranan pers dalam demokratisasi di Indonesia khususnya pada peristiwa revolusi Mei 1998
1.2. Mengetahui faktor penghambat bagi pers dalam upaya mewujudkan demokratisasi di Indonesia, khususnya dalam peristiwa revolusi Mei 1998.
2. Manfaat Penelitian
2.1. Sebagai bahan masukan atau informasi serta bahan perbandingan bagi peneliti berikutnya dalam hal atau masalah yang sama
2.2. Mengembangkan kemampuan berfikir penulis secara ilmiah dalam menganalisa setiap gejala yang terjadi pada peristiwa revolusi Mei 1998 khususnya mengenai peranaan pers.
2.3. Guna memenuhi dan melengkapi 0salah satu persyaratan akademis untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau.

PENGARUH IMPLEMENTASI RELATIONSHIP MARKETING TERHADAP CUSTOMER LOYALTY (Studi Pada Bank Rakyat Indonesia Cabang Cik Di Tiro di Yogyakarta) (PM-08)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian
Perubahan dalam dunia usaha yang semakin cepat mengharuskan perusahaan untuk merespon perubahan yang terjadi, problem sentral yang dihadapi perusahaan-perusahaan saat ini adalah bagaimana perusahaan tersebut menarik pelanggan dan mempertahankanya agar perusahaan tersebut dapat bertahan dan berkembang, tujuan tersebut akan tercapai jika perusahaan melakukan proses pemasaran.

Pemasaran merupakan salah satu kegiatan pokok yang dilakukan oleh perusahaan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, tetapi dalam pemasaran modern seperti ini paragdima pemasaran telah bergeser, tidak hanya menciptakan transakasi untuk mencapai keberhasilan pemasaran tetapi perusahaan juga harus menjalin hubungan dengan pelanggan dalam waktu yang panjang. Paragdima tersebut disebut relationship marketing dasar pemikiran dalam praktek pemasaran ini adalah, membina hubungan yang lebih dekat dengan menciptakan komunikasi dua arah dengan mengelola suatu hubungan yang saling menguntungkan antara pelanggan dan perusahaan (Chan S, 2003).

Relationship marketing mampu memperdayakan kekuatan keinginan pelanggan dengan tekanan teknologi informasi untuk memberikan kepuasan pada pelanggan. Cakupannya meliputi tuntutan manajemen mutu terpadu secara global untuk menghadapi kebutuhan bisnis pelanggan dengan lebih agresif. Strategi bisnis difokuskan pada kelanggengan dan pemuasan pelanggan serta bekerja untuk mengantisipasi kebutuhan serta penyesuaian hasil produk.

Salah satu indikator yang cukup handal untuk kelangsungan hidup dan keuntungan dari suatu proses bisnis adalah kelanjutan dari kepuasan pelanggan. Diperkirakan untuk menarik satu pelanggan baru diperlukan biaya mulai dari lima sampai lima belas kali, dibandingkan dengan menjaga hubungan dengan satu pelanggan lama.

Pada dasarnya relationship marketing adalah hubungan dan ikatan jangka panjang antara produsen, konsumen dan pemasok serta pelaku lainnya. Esensi relationship marketing paling tidak menyangkut hubungan yang langgeng dan pertukaran yang terus menerus dan dituntut untuk saling kepercayaan dan ketergantungan. Sehingga dalam konsep relationship marketing, pemasar sangat menekankan pentingnya hubungan baik jangka panjang dengan konsumen dan infrastruktur pemasaran, yang dapat menciptakan kesadaran dalam bentuk hubungan dan komitmen yang menyeluruh.

Relationship marketing diartikan sebagai menarik, memelihara dan meningkatkan hubungan dengan pelanggan (Berry, 1995 dalam Wibowo S, 2006). Relationship marketing lebih merupakan pendekatan bersifat jangka panjang, dimana hal ini berbeda dengan pendekatan pemasaran transaksional yang lebih berorientasi jangka pendek. Tujuan dari pemasaran transaksional adalah untuk mendapatkan pelanggan semata, sedangkan tujuan dari relationship marketing adalah untuk mendapatkan dan mempertahankan pelanggan.

Relationship marketing biasanya lebih sering digunakan dalam perusahaan jasa, sedangkan pemasaran transaksional lebih aplikatif dan sesuai untuk pemasaran bagi perusahaan yang menghasilkan produk manufaktur (Gronroos, 1995 dalam Wibowo S, 2006). Penelitian ini memfokuskan pada implementasi proses relationship marketing pada perusahaan perbankan, karena perbankan merupakan salah satu penyedia jasa yang menerapkan adanya keramahtamahan dalam hubungan dengan konsumen.

Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian yang dilakukan oleh Wibowo S, (2006). Model penelitian yang dilakukan adalah Model Effective relationship marketing dari Evans dan Laskin (1994) yang terdiri dari relationship marketing inputs yang mencakup Understanding Customer Expectation (UCE), Building Service Partnership (BSP), Total Quality Management (TQM), Empowering Employees (EE), dan Relationship marketing outcomes yang mencakup Customer Satisfaction (CS), Customer Loyalty (CL), Quality of Product (QP), Increased Profitability (IP).

Alasan yang mendasari topik penelitian ini adalah bahwa setiap perusahaan jasa dalam mempertahankan konsumenya, perusahaan harus mampu menjalin hubungan yang baik. Relationship marketing merupakan strategi yang dapat diimplementasikan untuk menunjang tercapainya tujuan tersebut. Dan penelitian yang berkaitan dengan relationship marketing pada perusahaan perbankan belum banyak dilakukan. Penelitian ini memfokuskan pada implementasi proses relationship marketing pada suatu perusahaan jasa Bank Rakyat Indonesia (BRI) cabang Cik Di Tiro di Yogyakarta.

Bank Rakyat Indonesia (BRI) adalah sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang pelayanan jasa dimana pelanggannya memiliki kebutuhan jangka panjang (long time horirizon), dengan kondisi tersebut Bank Rakyat Indonesia (BRI) ini menyadari pentingnya konsep relationship marketing. Hal tersebut diwujudkanya dengan menerapkan relationship marketing pada Bank Rakyat Indonesia (BRI). Konsep ini mengharapkan adanya inovasi dan peningkatan fasilitas agar dapat menciptakan loyalitas konsumen terhadap Bank Rakyat Indonesia (BRI) sehingga tercipta hubungan jangka panjang yang harmonis antara perusahaan dan konsumen.

Bank Rakyat Indonesia (BRI) merupakan salah satu perusahaan yang bekerja dalam bidang profit atau sifatnya mencari keuntungan. Bank Rakyat Indonesia (BRI) adalah perbankan yang mempunyai cabang maupun unit di hampir seluruh pelosok Indonesia. Relationship Marketing di Bank Rakyat Indonesia (BRI) cabang Cik Di Tiro di Yogyakarta menarik diteliti karena bank ini adalah cabang yang tidak mempunyai unit, sehingga bank ini hanya memfokuskan pada keuntungan atau menjaga agar nasabah tetap dipuaskan dengan pelayanan dari Bank Rakyat Indonesia (BRI). Dalam proses pemasaran di Bank Rakyat Indonesia (BRI) cabang Cik Di Tiro, benar-benar melibatkan nasabah.
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis bermaksud mengadakan penelitian dengan judul “Pengaruh Implementasi Relationship Marketing Terhadap Customer Loyalty (Studi Kasus pada Bank Rakyat Indonesia Cabang Cik Di Tiro di Yogyakarta)”.

B. Batasan Masalah
Dalam penelitian untuk mengembangkan pengetahuan yang mendalam objek yang diteliti dengan tetap mempertahankan keutuhan dari objek, sehingga data yang dikumpulkan bisa dipelajari sebagai keseluruhan yang berintegrasi, maka perlu diberikan batasan masalah sebagai berikut :
Relationship marketing input dalam penelitian ini adalah understanding customer expectation, building service partnership, total quality management dan empowering employees, sedangkan relationship marketing outcomes dalam penelitian ini dibatasi pada customer loyalty.

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, peneliti mencoba mengidentifikasi permasalahan sebagai berikut :
1. Apakah Understanding Customer Expectation, Building Service Partnership, Total Quality Management dan Empowering Employees berpengaruh signifikan terhadap Customer Loyalty pada Bank Rakyat Indonesia (BRI) cabang Cik Di Tiro di Yogyakarta?
2. Apakah Understanding Customer Expectation, Building Service Partnership, Total Quality Management dan Empowering Employees secara serentak berpengaruh signifikan terhadap Customer Loyalty pada Bank Rakyat Indonesia (BRI) cabang Cik Di Tiro di Yogyakarta?

D. Tujuan Penelitian
1. Untuk menguji pengaruh dari Understanding Customer Expectation, Building Service Partnership, Total Quality Management dan Empowering Employees terhadap Customer Loyalty pada Bank Rakyat Indonesia (BRI) cabang Cik Di Tiro di Yogyakarta.
2. Untuk menguji pengaruh dari Understanding Customer Expectation, Building Service Partnership, Total Quality Management dan Empowering Employees secara serentak terhadap Customer Loyalty pada Bank Rakyat Indonesia (BRI) cabang Cik Di Tiro di Yogyakarta.

E. Manfaat Penelitian
Beberapa manfaat yang diharapkan dari terlaksananya penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan bisa digunakan untuk menerapkan ilmu yang telah di dapat dibangku kuliah ke dunia usaha yang sebenarnya.
2. Bagi pihak perusahaan, penelitian ini diharapkan bisa memberikan kontribusi dalam pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan upaya membangun hubungan baik dengan konsumen dan referensi bagi pengembangan riset dikemudian hari.

ANALISIS KUALITAS PELAYANAN TERHADAP LOYALITAS NASABAH PADA BANK MANDIRI CABANG HASANUDDIN DI KOTA PALU (PM-09)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang
Pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat ditandai dengan pertumbuhan industri perbankan yang ada dalam negara tersebut. Semakin berkembang industri perbankan maka semakin baik pula pertumbuhan ekonomi negara itu sendiri. Salah satu usaha jasa yang menawarkan berbagai kebutuhan masyarakat akan jasa pelayanan keuangan, maka usaha jasa perbankan selain mengedepankan profesionalisme dalam pelayanan kepada masyarakat sebagai nasabah, juga harus mengedepankan kepercayaan, karena dapat dikatakan bahwa industri perbankan adalah merupakan industri yang menjual kepercayaan kepada masyarakat sebagai nasabahnya.

Masyarakat sebagai konsumen atau pasar yang dituju oleh industri perbankan memiliki berbagai pertimbangan dalam memilih usaha jasa perbankan yang akan digunakannya, hal tersebut dapat dilihat dari faktor tingkat bunga yang ditawarkan oleh perbankan kepada masyarakat, tingkat kenyamanan yang dirasakan oleh masyarakat dalam hal penyimpanan uang pada bank tersebut, juga mengenai kemudahan dalam memperoleh pinjaman.

Faktor-faktor tersebut yang menjadi dasar pertimbangan masyarakat untuk memilih jasa perbankan, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat membentuk loyalitas pada diri masyarakat akan bank yang dijadikan sebagai pilihan yang dipercayainya.

Keberadaan jasa perbankan dalam masyarakat memang lebih menguntungkan terutama pada sektor perekonomian, di mana para pelaku ekonomi lebih leluasa dalam menjalankan proses kegiatan ekonominya untuk menunjang kelangsungan hidup. Usaha jasa perbankan dalam masyarakat yang mengedepankan pelayanan yang baik demi memperoleh kepercayaan dari masyarakat sebagai nasabahnya akan menghadapi berbagai macam keadaan atau pandangan yang timbul dari masyarakat sebagai ungkapan kepuasan atau ketidakpuasannya akan pelayanan yang diterimanya dari pihak bank yang dipercayainya.
Di kota Palu dan sekitarnya telah berdiri beberapa bank yang menawarkan jasa perbankan, baik bank yang dimiliki oleh pihak pemerintah maupun pihak swasta. Di antaranya Bank Rakyat Indonesia, (BRI), Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Mandiri dan lain sebagainya. Kehadiran bank-bank tersebut, secara ekonomi memberikan keuntungan kepada masyarakat umum khususnya para pelaku ekonomi.

Menyadari akan berbagai hal di atas maka dalam penelitian ini peneliti tertarik untuk memilih bank mandiri sebagai objek penelitian, dengan maksud untuk mengetahui seperti apa dan bagaimana loyalitas nasabah terhadap pelayanan pihak perbankan dalam hal ini Bank Mandiri Cabang Hasanuddin Palu. Karenanya perlu dilakukan kajian lebih mendalam mengenai kualitas pelayanan dan loyalitas nasabah pada Bank Mandiri Cabang Hasanuddin Kota Palu melalui penelitian

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah:
a. Apakah variabel kualitas pelayanan (tangible, reliability, responsiveness, assurance, emphaty) secara serempak berpengaruh signifikan terhadap loyalitas nasabah pada Bank Mandiri Cabang Hasanuddin Palu?
b. Variabel mana yang relatif lebih dominan berpengaruh terhadap loyalitas nasabah pada Bank Mandiri Cabang Hasanuddin Palu?

1.3 Tujuan dan Kegunaan penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui dan mengukur apakah variabel kualitas pelayanan (tangible, reliability, responsiveness, assurance, emphaty) berpengaruh signifikan terhadap loyalitas nasabah pada Bank Mandiri Cabang Hasanuddin di Kota Palu.
b. Untuk mengetahui dan mengukur variabel mana yang relatif lebih dominan berpengaruh terhadap loyalitas nasabah pada Bank Mandiri Cabang Hasanuddin di Kota Palu.

1.3.2 Kegunaan Penelitian
a. Sebagai sumbangan pemikiran kepada pihak perbankan dalam menentukan kebijakan yang tepat dalam melayani nasabah yang akan menggunakan jasa yang di tawarkan.
b. Sebagai pengalaman yang cukup berharga bagi peneliti untuk mengimplementasikan berbagai teori yang berkaitan dengan penelitian.
c. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana (S1) Jurusan Manajemen Pada Fakultas Ekonomi Universitas Tadulako.

PENGARUH FAKTOR-FAKTOR MOTIVASI DITINJAU DARI SISI FINANSIAL, PSIKOLOGI, DAN SOSIAL TERHADAP PRESTASI KERJA KARYAWAN STUDI KASUS PADA PT. .. (MS-12)

BAB I PENDAHULUAN

l.l. Latar Belakang Masalah
Seorang manajer adalah orang yang melakukan sesuatu melalui orang lain, dengan membagi dan mengalokasikan tugas-tugas kepada bawahannya. Keberhasilan manajer ditentukan oleh seberapa jauh karyawannya menjalankan tugas yang telah diberikan degan baik.

Seorang karyawan mungkin menjalankan pekerjaan yang dibebankan kepadanya dengan baik, mungkin juga tidak. Namun, bila tugas yang dibebankan kepada karyawan tidak bisa terlaksana dengan baik, maka manajer perlu menganalisis apa penyebabnya. Dalam hal ini, kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi adalah, pertama, karyawan memang tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan pekerjaan yang ditugaskan. Kedua, karyawan tidak mempunyai motivasi untuk bekerja dengan baik. Kemungkinan yang ketiga, bisa jadi merupakan kombinasi atau gabungan dari kedua faktor tersebut

Menjelang tibanya era perdagangan bebas, pada tahun 2003 ini, karyawan dituntut untuk selalu bekerja tidak hanya sekedar untuk mencari nafkah dan menghidupi diri sendiri dan keluarganya serta mencapai tujuan produksi. Akan tetapi, mereka harus bekerja agar perusahaan dapat tumbuh dan berkembang menghadapi persaingan dengan perusahaan lain. Para pemimpin perusahaan yang menekankan pada pendekatan ekonomi akan berangkat dengan asumsi bahwa karyawan perusahaan akan bekerja secara optimal bila mereka mendapat imbalan yang cukup baik dalam bentuk uang maupun imbalan lainnya seperti kendaraan, tempat tinggal, bonus dan sebagainya. Pada kondisi globalisasi seperti saat ini, asumsi ini belum cukup karena imbalan saja tidak menjamin karyawan bekerja secara optimal.

Pemanfaatan kemampuan karyawan dengan optimal dapat dilakukan dan mampu menyatukan pandangan dari sifat dan karakter yang berbeda-beda dari setiap karyawan pada suatu tujuan, yaitu tujuan perusahaan. Berkaitan dengan hal itu, tugas manajer adalah memiotivasi para karyawan agar bekerja sesuai dengan upaya pencapaian tujuan organisasi. Kemampuan manajer memotivasi, mempengaruhi, mengarahkan dan berkomunikasi dengan para karyawannya atau menentukan sejauh mana efektifitas leadership seorang manajer.

Robbins (1997) mendefinisikan motivasi sebagai keinginan untuk menggunakan usaha yang maksimal dalam pencapaian tujuan-tujuan perusahaan, dikondisikan oleh kemampuan berbagai program dan praktek motivasional untuk memuaskan beberapa kebutuhan individu. Dalam hal ini perlu ditekankan beberapa pengertian yang berhubungan dengan motivasi utama dalam pernyataan Quality of Work Life yang diterjemahkan menjadi kualitas kehidupan kerja dalam berbagai artikel dan jurnal.
Karyawan yang bekerja dengan motivasi tinggi merupakan harapan perusahaan. Karyawan yang memiliki motivasi untuk bekerja tidak sama dengan orang yang bekerja dengan motivasi yang tinggi. Karyawan yang bekerja dengan motivasi tinggi ini pada umumnya beranggapan bahwa bekerja hanya karena harus mematuhi kebutuhan yang vital bagi diri dan keluarganya. Hal

Inilah yang disebut dengan motivasi ekstrinsik (As'ad, 1991). Karyawan dengan perilaku seperti ini tidak termotivasi untuk bekerja semaksimal mungkin dan memiliki Quality of Work Life yang mempengaruhi kualitas kehidupannya. Dengan demikian, yang dibutuhkan organisasi adalah karyawan yang bekerja dengan motivasi yang tinggi yaitu merasa senang mendapat kepuasan dalam pekerjaannya.

Dengan terciptanya kepuasan kerja karyawan maka akan diharapkan terjadi peningkatan mutu pelayanan karena bila karyawan merasa puas dan senang dalam bekerja akan dapat melakukan tugasnya dengan baik dan tulus dalam menjalankan apa yang menjadi kewajibannya. Selain itu, kepuasan kerja akan membawa dampak para turnover, absensi, kinerja karyawan. serikat kerja, keterlamb atan kerja, dan waktu-waktu luang yang ada.

Bertolak dari uraian diatas, dalam kesempatan ini penulis bermaksud mengkaji sejauhmana pengaruh faktor-faktor motivasi terhadap prestasi kerja karyawan dalam suatu organisasi khususnya organisasi perusahaan. Kajian studi ini selanjutnya akan di wujudkan dalam bentuk penelitian tesis (internship) dengan judul “PENGARUH FAKTOR-FAKTOR MOTIVASI DITINJAU DARI SISI FINANSIAL, PSIKOLOGI, DAN SOSIAL TERHADAP PRESTASI KERJA KARYAWAN. STUDI KASUS DI PT. BERLIAN JASA TERMINAL INDONESIA".

1.2. Rumusan Masalah
Masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah pengaruh faktor-faktor motivasi kerja (yang menyangkut: faktor finansial, faktor psikologis don faktor sosial) terhadap prestasi kerja karyawan PT. Berlian Jasa Terminal Indonesia.
Masalah tcrsebut kemudian dirinci menjadi pertanyaan penelitian sebagai berikut:
a. Seberapa signifikankah pengaruh: faktor finansial, faktor psikologis dan faktor sosial (sebagai faktor motivasi) terhadap prestasi kerja karyawan PT. Berlian Jasa Terminal Indonesia
b. Diantara faktor-faktor motivasi tersebut yaitu: faktor finansial, faktor psikologis dan faktor sosial) manakah yang mempunyai pengaruh paling dominan terhadap prestasi kerja karyawan PT. Berlian Jasa Terminal Indonesia

1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui apakah faktor finansial faktor psikologi, faktor sosial berpengaruh secara signifikan terhadap prestasi kerja karyawan pada PT. Berlian Jasa Terminal Indonesia
2. Untuk mengetahui faktor mana di antara faktor-faktor motivasi tersebut yang paling dominan dalam mempengaruhi prestasi kerja karyawan PT. Berlian Jasa Teiminal Indonesia

1.4. ManfaatPenelitian
Dengan tercapainya tujuan penelitian ini, maka diharapkan hasilnya akan bermanfaat sebagai berikut:
a. Sebagai salah satu bahan pertimbangan bagi manajemen PT. Berlian Jasa Terminal Indonesia dalam pengambilan keputusan menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan peningkatan produktivitas karyawan
b. Kegiatan pendirian ini merupakan kesempatan berharga bagi penulis untuk mengaplikasikan teori yang diperoleh dengan praktek nyata di perusahaan sekaligus sebagai tambahan wawasan ilmu.

Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Sejak Berlakunya Keppres No. 55 Tahun 1993 di Kabupaten Daerah Tingkat II (MS-11)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembangunan Nasional yang dilaksanakan dalam rangka memenuhi amanat Pembukaan UUD 45, dari tahun ke tahun terus meningkat. Bersamaan dengan itu jumlah penduduk terus bertambah, dan sejalan dengan semakin meningkatnya pembangunan dan hasil-hasilnya, maka semakin meningkat dan beragam pula kebutuhan penduduk itu.

Termasuk dalam kegiatan pembangunan Nasional itu adalah pembangunan untuk kepentingan umum. Pembangunan untuk kepentingan umum ini harus terus diupayakan pelaksanaannya seiring dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk yang disertai dengan semakin meningkatnya kemakmurannya.

Penduduk yang semakin bertambah dengan tingkat kemakmuran yang semakin baik, tentunya membutuhkan berbagai fasilitas umum seperti : jaringan/transportasi, fasilitas pendidikan, peribadatan, sarana olah raga, fasilitas komunikasi, fasilitas keselamatan umum dan sebagainya.

Pembangunan fasilitas-fasilitas umum seperti tersebut di atas, memerlukan tanah sebagai wadahnya. Dalam hal persediaan tanah masih luas, pembangunan fasilitas umum tersebut tidak menemui masalah. Tetapi persoalannya tanah merupakan sumberdaya alam yang sifatnya terbatas, dan tidak pernah bertambah luasnya. Tanah yang tersedia sudah banyak yang dilekati dengan hak (tanah hak), dan tanah negara sudah sangat terbatas persediaannya.

Pada masa sekarang ini adalah sangat sulit melakukan pembangunan untuk kepetingan umum di atas tanah negara, dan sebagai jalan keluar yang ditempuh adalah dengan mengambil tanah-tanah hak. Kegiatan “mengambil” tanah (oleh pemerintah dalam rangka pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum) inilah yang kemudian disebut dengan pengadaan tanah (pasal 1 Keppres No. 55 tahun 1993).
Kegiatan pengadaan tanah ini sudah sejak lama dilakukan, bahkan sudah dikenal sejak zaman Hindia Belanda dahulu melalui Onteigenings Ordonnatie (Staatsblad 1920 nomor 574).

Undang-Undang Pokok Agraria sendiri melalui Pasal 16, memberikan landasan hukum bagi pengambilan tanah hak ini dengan menentukan : Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak menurut cara yang diatur dengan Undang-Undang.

Kemudian dikeluarkan Undang-Undang nomor 20 tahun 1961. Undang-Undang ini mengartikan kepentingan umum secara luas yaitu :
(1) Kepentingan bangsa dan Negara;
(2) Kepentingan bersama dari rakyat; dan
(3) Kepentingan pembangunan (pasal 1).
Selanjutnya menurut Undang-Undang ini kegiatan kepentingan Umum tidak hanya terbatas pada kegiatan yang dilakukan Pemerintah tapi juga oleh swasta, asal usaha itu benar-benar untuk kepentingan umum (lihat penjelasan angka (4) huruf b).
Inpres nomor 9 tahun 1973 beserta lampirannya memberikan pedoman-pedoman dalam pelaksanaan pencabutan hak dan benda-benda yang ada di atasnya, juga memberikan arti kepentingan umum secara luas dengan menambah daftar bidang kegiatan yang mempunyai sifat kepentingan umum, namun masih membuka kemungkinan penafsiran lebih lanjut (Pasal 1 ayat 1 dan 2).

Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 15 tahun 1975 tidak memberikan batasan yang jelas tentang kepentingan umum, dan berdasarkan Permendagri Nomor 2 tahun 1976 yang dikeluarkan kemudian, ketentuan mengenai acara pembebasan tanah untuk kepentingan pemerintah menurut Permendagri nonor 15 tahun 1975, diberlakukan juga untuk kepentingan swasta.

Keluarnya Keppres nomor 55 tahun 1993, membawa pengaturan yang jauh berbeda dengan yang diatur dalam peraturan-peraturan perundangan sebelunnya, baik tentang pengertian kepentingan umum, proses musyawarah maupun tentang bentuk dan cara penentuan besarnya ganti kerugian.
Keppres tersebut menganut pendekatan yang sempit dengan memberikan definisi yang ketat tentang kepentingan umum, diikuti dengan 14 contoh kegiatan yang tidak membuka penafsiran lebih lanjut lagi (Pasal 5(1)).

Keppres ini menentukan tiga kriteria bagi suatu kegiatan untuk dapat dikategorikan sebagai kepentingan umum yaitu: (1) dilakukan oleh pemerintah; (2) dimiliki oleh pemerintah serta (3) tidak digunakan untuk mencari keuntungan.
Lebih lanjut ditentukan juga bidang-bidang kegiatan yang masuk kategori kepentingan umum dengan kemungkinan Presiden menentukan bidang kegiatan lain di luar yang disebut itu, asal memenuhi tiga kriteria tersebut.
Proses musyawarah juga ditentukan secara tegas yaitu dilakukan secara langsung antara pemegang hak atas tanah dan instansi Pemerintah yang memerlukan tanah, dengan dipimpin oleh ketua Panitia Pengadaan Tanah.

Bentuk dan dasar perhitungan ganti kerugian juga ditentukan secara lebih tegas dan lebih adil yaitu didasarkan atas nilai nyata dengan memperhatikan nilai jual obyek pajak yang terakhir untuk tanah yang bersangkutan.
Lebih lanjut Keppres ini menentukan bahwa untuk kegiatan kepentingan umum yang memerlukan tanah kurang dari 1 (satu) ha, pengadaan tanahnya dilakukan secara langsung (tanpa melalui Panitia Pengadaan Tanah) oleh instansi Pemerintah yang memerlukan tanah dengan para pedagang hak atas tanah dengan jual beli, tukar menukar atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak (Pasal 23).

Berlakunya Keppres ini, maka Permendagri nomor 15 tahun 1975, dan nomor 2 tahun 1976 serta nonor 2 tahun 1985 yang mengatur tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum dan swasta dinyatakan tidak berlaku lagi (Pasal 24).
Untuk melaksanakan Keppres tersebut telah dikeluarkan pula Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nonor 1 tahun 1994 tentang Ketentuan Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993.
Keppres Nomor 55 tahun 1993 ini sebagai suatu peraturan yang relatif baru, maka perlu sekali dilakukan penelitian, sejauh mana Keppres tersebut dilaksanakan dalam praktek.

Dalam hal ini penulis mengambil Kabupaten Sleman sebagai lokasi penelitian, karena dari hasil pra penelitian yang penulis lakukan, dan berdasarkan informasi dari Pejabat Kantor Pertanahan Kabupaten Sleman bahwa di Kabupaten Sleman telah dilakukan pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum berupa sarana tanggul penanggulangan bahaya banjir dan lahar, berdasarkan Keppres No. 55 tahun 1993 meliputi Kecamatan Ngaglik seluas 2,0513 Ha dan Kecamatan Pakem seluas 1,6037 Ha. Sehubungan dengan itu pemberian ganti kerugian kepada para pemilik hak atas tanah yang terkena lokasi pembangunan kepentingan umun pun kenyataannya belun sesuai dengan Keppres No. 55 Tahun 1993 karena itu perlu dilakukan penelitian, maka penulis ingin mengadakan penelitian dengan judul : "Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Sejak Berlakunya Keppres No. 55 Tahun 1993 di Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman."

B. Perumusan Masalah
Bertolak dari uraian latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
a. Bagaimanakah pelaksanaan tugas Panitia Pengadaan Tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum di Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman.
b. Bagaimana proses berlangsungnya musyawarah antara instansi pemerintah yang memerlukan tanah dengan pemegang hak atas tanah ?
c. Apakah bentuk ganti kerugian yang diberikan dan apakah dasar yang dipakai daIan penghitungan ganti kerugian tersebut ?

C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang dirumuskan, maka penelitian ini bertujuan :
a. Untuk mengetahui pelaksanaan tugas Panitia Pengadaan Tanah dalam membantu kegiatan pengadaan tanah untuk kepentingan umum di Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman.
b. Untuk mengetahui proses berlangsungnya musyawarah antara instansi Pemerintah yang memerlukan tanah dengan pemegang hak atas tanah.
c. Untuk mengetahui bentuk ganti kerugian yang diberikan dan dasar yang dipakai dalam penghitungan ganti kerugian tersebut.

D. Kegunaan Penelitian
1. Dapat memberikan masukan bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya dalam bidang hukum agraria.
2. Dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi masyarakat maupun pemerintah, khususnya aparatur pemerintah pada jajaran Badan Pertanahan Nasional dalan hal pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum.

Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Sejak Berlakunya Keppres No. 55 Tahun 1993 di Kabupaten Daerah Tingkat II (AN-03)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembangunan Nasional yang dilaksanakan dalam rangka memenuhi amanat Pembukaan UUD 45, dari tahun ke tahun terus meningkat. Bersamaan dengan itu jumlah penduduk terus bertambah, dan sejalan dengan semakin meningkatnya pembangunan dan hasil-hasilnya, maka semakin meningkat dan beragam pula kebutuhan penduduk itu.

Termasuk dalam kegiatan pembangunan Nasional itu adalah pembangunan untuk kepentingan umum. Pembangunan untuk kepentingan umum ini harus terus diupayakan pelaksanaannya seiring dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk yang disertai dengan semakin meningkatnya kemakmurannya.

Penduduk yang semakin bertambah dengan tingkat kemakmuran yang semakin baik, tentunya membutuhkan berbagai fasilitas umum seperti : jaringan/transportasi, fasilitas pendidikan, peribadatan, sarana olah raga, fasilitas komunikasi, fasilitas keselamatan umum dan sebagainya.

Pembangunan fasilitas-fasilitas umum seperti tersebut di atas, memerlukan tanah sebagai wadahnya. Dalam hal persediaan tanah masih luas, pembangunan fasilitas umum tersebut tidak menemui masalah. Tetapi persoalannya tanah merupakan sumberdaya alam yang sifatnya terbatas, dan tidak pernah bertambah luasnya. Tanah yang tersedia sudah banyak yang dilekati dengan hak (tanah hak), dan tanah negara sudah sangat terbatas persediaannya.

Pada masa sekarang ini adalah sangat sulit melakukan pembangunan untuk kepetingan umum di atas tanah negara, dan sebagai jalan keluar yang ditempuh adalah dengan mengambil tanah-tanah hak. Kegiatan “mengambil” tanah (oleh pemerintah dalam rangka pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum) inilah yang kemudian disebut dengan pengadaan tanah (pasal 1 Keppres No. 55 tahun 1993).
Kegiatan pengadaan tanah ini sudah sejak lama dilakukan, bahkan sudah dikenal sejak zaman Hindia Belanda dahulu melalui Onteigenings Ordonnatie (Staatsblad 1920 nomor 574).

Undang-Undang Pokok Agraria sendiri melalui Pasal 16, memberikan landasan hukum bagi pengambilan tanah hak ini dengan menentukan : Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak menurut cara yang diatur dengan Undang-Undang.
Kemudian dikeluarkan Undang-Undang nomor 20 tahun 1961. Undang-Undang ini mengartikan kepentingan umum secara luas yaitu :
(1) Kepentingan bangsa dan Negara;
(2) Kepentingan bersama dari rakyat; dan
(3) Kepentingan pembangunan (pasal 1).

Selanjutnya menurut Undang-Undang ini kegiatan kepentingan Umum tidak hanya terbatas pada kegiatan yang dilakukan Pemerintah tapi juga oleh swasta, asal usaha itu benar-benar untuk kepentingan umum (lihat penjelasan angka (4) huruf b).
Inpres nomor 9 tahun 1973 beserta lampirannya memberikan pedoman-pedoman dalam pelaksanaan pencabutan hak dan benda-benda yang ada di atasnya, juga memberikan arti kepentingan umum secara luas dengan menambah daftar bidang kegiatan yang mempunyai sifat kepentingan umum, namun masih membuka kemungkinan penafsiran lebih lanjut (Pasal 1 ayat 1 dan 2).

Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 15 tahun 1975 tidak memberikan batasan yang jelas tentang kepentingan umum, dan berdasarkan Permendagri Nomor 2 tahun 1976 yang dikeluarkan kemudian, ketentuan mengenai acara pembebasan tanah untuk kepentingan pemerintah menurut Permendagri nonor 15 tahun 1975, diberlakukan juga untuk kepentingan swasta.

Keluarnya Keppres nomor 55 tahun 1993, membawa pengaturan yang jauh berbeda dengan yang diatur dalam peraturan-peraturan perundangan sebelunnya, baik tentang pengertian kepentingan umum, proses musyawarah maupun tentang bentuk dan cara penentuan besarnya ganti kerugian.
Keppres tersebut menganut pendekatan yang sempit dengan memberikan definisi yang ketat tentang kepentingan umum, diikuti dengan 14 contoh kegiatan yang tidak membuka penafsiran lebih lanjut lagi (Pasal 5(1)).

Keppres ini menentukan tiga kriteria bagi suatu kegiatan untuk dapat dikategorikan sebagai kepentingan umum yaitu: (1) dilakukan oleh pemerintah; (2) dimiliki oleh pemerintah serta (3) tidak digunakan untuk mencari keuntungan.
Lebih lanjut ditentukan juga bidang-bidang kegiatan yang masuk kategori kepentingan umum dengan kemungkinan Presiden menentukan bidang kegiatan lain di luar yang disebut itu, asal memenuhi tiga kriteria tersebut.

Proses musyawarah juga ditentukan secara tegas yaitu dilakukan secara langsung antara pemegang hak atas tanah dan instansi Pemerintah yang memerlukan tanah, dengan dipimpin oleh ketua Panitia Pengadaan Tanah.
Bentuk dan dasar perhitungan ganti kerugian juga ditentukan secara lebih tegas dan lebih adil yaitu didasarkan atas nilai nyata dengan memperhatikan nilai jual obyek pajak yang terakhir untuk tanah yang bersangkutan.

Lebih lanjut Keppres ini menentukan bahwa untuk kegiatan kepentingan umum yang memerlukan tanah kurang dari 1 (satu) ha, pengadaan tanahnya dilakukan secara langsung (tanpa melalui Panitia Pengadaan Tanah) oleh instansi Pemerintah yang memerlukan tanah dengan para pedagang hak atas tanah dengan jual beli, tukar menukar atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak (Pasal 23).
Berlakunya Keppres ini, maka Permendagri nomor 15 tahun 1975, dan nomor 2 tahun 1976 serta nonor 2 tahun 1985 yang mengatur tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum dan swasta dinyatakan tidak berlaku lagi (Pasal 24).

Untuk melaksanakan Keppres tersebut telah dikeluarkan pula Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nonor 1 tahun 1994 tentang Ketentuan Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993.
Keppres Nomor 55 tahun 1993 ini sebagai suatu peraturan yang relatif baru, maka perlu sekali dilakukan penelitian, sejauh mana Keppres tersebut dilaksanakan dalam praktek.

Dalam hal ini penulis mengambil Kabupaten Sleman sebagai lokasi penelitian, karena dari hasil pra penelitian yang penulis lakukan, dan berdasarkan informasi dari Pejabat Kantor Pertanahan Kabupaten Sleman bahwa di Kabupaten Sleman telah dilakukan pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum berupa sarana tanggul penanggulangan bahaya banjir dan lahar, berdasarkan Keppres No. 55 tahun 1993 meliputi Kecamatan Ngaglik seluas 2,0513 Ha dan Kecamatan Pakem seluas 1,6037 Ha. Sehubungan dengan itu pemberian ganti kerugian kepada para pemilik hak atas tanah yang terkena lokasi pembangunan kepentingan umun pun kenyataannya belun sesuai dengan Keppres No. 55 Tahun 1993 karena itu perlu dilakukan penelitian, maka penulis ingin mengadakan penelitian dengan judul : "Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Sejak Berlakunya Keppres No. 55 Tahun 1993 di Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman."

B. Perumusan Masalah
Bertolak dari uraian latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
a. Bagaimanakah pelaksanaan tugas Panitia Pengadaan Tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum di Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman.
b. Bagaimana proses berlangsungnya musyawarah antara instansi pemerintah yang memerlukan tanah dengan pemegang hak atas tanah ?
c. Apakah bentuk ganti kerugian yang diberikan dan apakah dasar yang dipakai daIan penghitungan ganti kerugian tersebut ?

C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang dirumuskan, maka penelitian ini bertujuan :
a. Untuk mengetahui pelaksanaan tugas Panitia Pengadaan Tanah dalam membantu kegiatan pengadaan tanah untuk kepentingan umum di Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman.
b. Untuk mengetahui proses berlangsungnya musyawarah antara instansi Pemerintah yang memerlukan tanah dengan pemegang hak atas tanah.
c. Untuk mengetahui bentuk ganti kerugian yang diberikan dan dasar yang dipakai dalam penghitungan ganti kerugian tersebut.

D. Kegunaan Penelitian
1. Dapat memberikan masukan bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya dalam bidang hukum agraria.
2. Dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi masyarakat maupun pemerintah, khususnya aparatur pemerintah pada jajaran Badan Pertanahan Nasional dalan hal pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum.
Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini

Pengaruh Perilaku Pemimpin Dan Kompensasi Terhadap Prestasi Kerja Karyawan pada Apartemen Sejahtera Yogyakarta (MS-10)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan Industri penginapan saat ini tumbuh sangat pesat, sehingga menimbulkan persaingan yang sangat ketat diantara industri penginapan. Salah satunya mereka berlomba, menawarkan berbagai fasilitas, kualitas pelayanan dan peyajian sebaik mungkin untuk memberikan nilai tambah pada pelayanan yang ditawarkannya. Upaya tersebut dilakukan agar bertahan ditengah persaingan yang sangat ketat dan tetap menjadi pilihan utama bagi wisatawan. Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu daerah pariwisata yang paling banyak dikunjungi oleh para wisatawan, baik itu wisatawan luar negeri maupun wisatawan dalam negeri. Disamping itu banyak juga yang mengunjugi kota Yogyakarta dengan berbagai alasan, misalnya untuk kepentingan bisnis, pendidikan dan lain-lain.

Banyaknya para pendatang mengakibatkan kebutuhan akan pelayanan jasa penginapan semakin meningkat, sehingga semakin banyak bermunculan jasa penginapan yang ada di Yogyakarta. Ada beberapa jenis penginapan yang ada di kota yogyakarta, antara lain apartemen, hotel, pondokan dan wisma.

Apartemen merupakan salah satu industri atau perusahan yang bergerak dibidang jasa penginapan, yang berarti sebagai organisasi dalam suatu sistem, yaitu rangkaian dan hubungan antar bagian komponen yang bekerja sama sebagai keseluruhan. Dimana setiap komponen merupakan sub sistem yang memiliki kekayaan sistem bagi dirinya (Katz and Kahn, 1966 dikutip oleh Wexley, 1992 : 13). Notoatmojo (1998 : 10) mengemukakan manusia sebagai salah satu komponen perusahaan merupakan sumberdaya penentu tercapainya visi dan misi perusahaan. Kerena itu, sumber daya manusia/karyawan harus dikelola sedemikian rupa sehingga berdaya guna dan berhasil dalam mencapai misi dan tujuan perusahaan.Untuk mengelola karyawan atau sumber daya manusia tersebut dalam mencapai visi dan tujuan perusahaan,maka dibutuhkan seorang pemimpin dalam mengatur perusahan itu.
Salah satu perilaku seorang pemimpin adalah bersifat motivasional artinya memberikan motivasi pada bawahan sehingga bawahan menjadi puas yang berdampak pada prestasi yang efektif, dan memberikan latihan (coaching), bimbingan, dukungan, dan ganjaran yang perlu untuk prestasi yang efektif.

Dalam model yang dikembangkan oleh Paul Hersey dan Ken Blanchard (1995 : 113) di Center for Leadership Studies, perilaku pemimpin digunakan sebagai istilah-istilah perilaku tugas dan perilaku hubungan. Perilaku kepemimpinan seseorang adalah pola perilaku yang diperlihatkan orang itu pada saat mempengaruhi aktivitas orang lain seperti yang dipersepsikan orang lain
Kompensasi sangat penting bagi karyawan apartemen itu sendiri sebagai individu, karena besarnya kompensasi merupakan pencerminan atau ukuran nilai pekerjaan karyawan itu sendiri. Sebaliknya besar kecilnya kompensasi dapat mempengaruhi prestasi kerja. Apabila kompensasi diberikan secara tepat dan benar para karyawan akan lebih berprestasi untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi.

Prestasi kerja karyawan merupakan salah satu faktor penentu prestasi perusahaan. Prawirosentono, (1999 : 3) menyatakan terdapat hubungan yang erat antara prestasi perseorangan dengan prestasi perusahaan, dengan kata lain bila prestasi karyawan baik maka kemungkinan besar prestasi perusahaan juga baik. Prestasi seorang karyawan akan baik bila dia mempunyai keahlian (skill) yang tinggi, bersedia bekerja karena digaji atau diberi upah sesuai dengan perjanjian, mempunyai harapan masa depan lebih baik. Dari pendapat tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa jika ingin prestasi perusahaan baik, maka pemimpin perusahaan harus mampu menciptakan kondisi kinerja setiap karyawannya baik dengan cara menciptakan kondisi yang kondusif yaitu memotivasi karyawan berprestasi.

Apartemen Sejahtera merupakan suatu perusahaan yang bergerak dibidang jasa penginapan yang terletak dikawasan Universitas Sanata Drama. Jumlah karyawan Apartemen Sejahtera pada tahun 2006 sebanyak 95 orang. Apartemen Sejahtera Yogyakarta terletak di Jalan Pringgodani No 16, Desa Catur Tunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman Yogyakarta sehingga memudahkan transportasi keluar masuknya pengguna penginapan ke Apartemen Sejahtera.

Program kompensasi yang diberikan oleh pihak Apartemen Sejahtera antara lain :
1. Komponen gaji merupakan suatu bagian balas jasa yang diterima karyawan. Komponon gaji terbagi menjadi dua yaitu gaji bulanan dan gaji lembur
2. Insentif merupakan penghargaan yang diberikan kepada karyawan yang memliki prestasi kerja yang baik dengan tujuan untuk memotivasi karyawan. Intensif ini bisa berupa bonus dan penghargaan ini bisa kepada karyawan teladan
3. Komponen tunjangan merupakan pembayaran dan jasa-jasa yang melengkapi gaji pokok. Tunjangan ini bisa berupa tunjangan hari raya, tunjangan kesehatan, kecelakaan kerja, tunjangan perkawinan, tunjangan kematian dan tunjangan hari tua
4. Fasilitas merupakan penyediaan sarana dan prasarana yang mendukung dalam pekerjaan berupa tempat kerja, pakaian kerja, cuti kerja, transportasi dan olah raga
Berdasarkan penjelasan tersebut jelas bahwa perilaku pemimpin dan kompensasi yang diberikan perusahaan mempunyai pengaruh terhadap prestasi kerja karyawan dan hal ini harus dikondisikan oleh pemimpin dalam rangka meningkatkan prestasi karyawan untuk mencapai tujuan perusahaan secara maksimal. Hal inilah yang mendorong peneliti untuk mengadakan penilitian tentang “Pengaruh Perilaku Pemimpin Dan Kompensasi Terhadap Prestasi Kerja Karyawan pada Apartemen Sejahtera Yogyakarta”.


B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang maka dapat ditarik suatu permasalahan yaitu :
1. Apakah variabel perilaku pemimpin dan kompensasi secara bersama-sama berpengaruh terhadap prestasi kerja karyawan pada Apartemen Sejahtera di Yogyakarta ?
2. Apakah variabel perilaku pemimpin atau kompensasi yang dominan berpengaruh terhadap prestasi kerja karyawan pada Apartemen Sejahtera di Yogyakarta ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang terdapat pada rumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui apakah variabel perilaku pemimpin dan kompensasi secara bersama-sama berpengaruh terhadap prestasi kerja karyawan pada Apartemen Sejahtera di Yogyakarta.
b. Untuk mengetahui variabel perilaku pemimpin atau kompensasi yang dominan berpengaruh terhadap prestasi kerja karyawan pada Apartemen Sejahtera di Yogyakarta.

2. Manfaat Penelitian
a. Bagi perusahaan
Hasil penelitian ini diharapkan sebagai evaluasi dan bahan pertimbangan bagi perusahaan, tentang bagaimana pengaruh perilaku pemimpin dan kompensasi yang diterima karyawan terhadap prestasi kerja karyawan
b. Bagi penulis
Menambah wawasan dan memperluas pengetahuan dalam masalah perilaku pemimpin dan kompensasi yang diterima karyawan terhadap prestasi kerja yang ada pada perusahaan sehingga dapat dipergunakan sebagai bahan referensi ilmu pengetahuan yang khususnya pada sumber daya manusia.
c. Bagi fakultas.
Menambah referensi bacaan mengenai sumber daya manusia yang dapat berguna bagi ilmu pengetahuan tentang perilaku pemimpin dan kompensasi terhadap prestasi kerja.

ANALISIS KINERJA BIROKRASI PEMERINTAH (KASUS PADA DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONE) (AN-02)

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan paradigma studi ilmu administrasi negara sangat cepat dan mengikuti perubahan lingkungan yang mempengaruhinya. Seperti studi yang sistematis yang dilakukan oleh Nicholas Henry (1995) yang mengelompokkan paradigma administrasi negara atas; (a) dikhotami politik administrasi, (b) paradigma prinsip-prinsip administrasi negara, (c) paradigma administrasi negara sebagai ilmu politik, (d) paradigma administrasi negara sebagai ilmu administrasi, dan (e) paradigma administrasi negara sebagai ilmu administrasi negara sampai pada tahun 1970. Setelah tahun 1970, paradigma administrasi negara berkembang menjadi paradigma administrasi pembangunan (J.B Kritiadi:1997). Dalam paradigma ini peran pemerintah dalam pembangunan negara-negara berkembang sangatlah besar. Oleh karena itu menurut Abdullah (1984) peran administrasi pembangunan dalam proses pembangunan adalah sebagai ”Agen of Change”. Hal ini berarti proses perencanaan, perumusan kebijaksanaan, implementasi dan pengendalian pelaksanaan pembangunan semuanya dilakukan oleh pemerintah.


Studi yang dilakukan oleh David Osborne dan Gaebler (1992) menggugat tesis tersebut, bahwa pemerintah tidaklah cukup mampu untuk melakukan sendiri kegiatan sektor publik; pemerintah tidak memiliki cukup biaya untuk membiayai kegiatan sektor publik. Oleh karena itu keterlibatan unsur swasta, masyarakat dan kelembagaan masyarakat lainya dalam menyelenggarakan sektor publik merupakan pilihan tepat untuk menciptakan efisiensi, efektifitas, pemberdayaan masyarakat itu sendiri. Dari sinilah peran pemerintah dalam menyelenggarakan kegiatan sektor publik berubah, dimana tidak hanya pemerintah yang terlibat dalam proses pembangunan, tetapi pihak swasta, kelembagaan masyarakat dan LSM merupakan tiga pilar utama yang harus berperan aktif dalam melakukan proses pembangunan.

Salah satu fungsi pemerintah yang utama adalah menyelenggarakan pelayanan umum sebagai wujud dari tugas umum pemerintahan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Birokrasi merupakan instrumen pemerintah untuk mewujudkan pelayanan publik yang efisien, efektif, berkeadilan, transparan dan akuntabel. Hal ini berarti bahwa untuk mampu melaksanakan fungsi pemerintah dengan baik maka organisasi birokrasi harus profesional, tanggap, aspiratif terhadap berbagai tuntutan masyarakat yang dilayani. Seiring dengan hal tersebut pembinaan aparatur negara dilakukan secara terus menerus, agar dapat menjadi alat yang efisien dan efektif, bersih dan berwibawa, sehingga mampu menjalankan tugas-tugas umum pemerintah maupun untuk menggerakkan pembangunan secara lancar dengan dilandasi semangat dan sikap pengabdian terhadap masyarakat.

Seiring dengan hal tersebut Abdullah (1984) mengatakan bahwa determinan penting untuk meningkatkan kinerja birokrasi pemerintah adalah dibutuhkan ”Infra-Struktur Admnistrasi” yang memiliki kesiapan dan ketangguhan pada semua tingkatan dan tahapan yang meliputi : (a) organisasi pelaksana yang berintikan birokrasi yang mantap dan tangguh; (b) sistem administrasi atau tata laksana yang efektif dan efisien; dan (c) susunan aparatur atau personalia yang berkemampuan tinggi dari segi profesional, orientasional yang disertai rasas dedikasi yang tinggi. Hal ini berarti bahwa kinerja birokrasi pemerintah dalam merencanakan, mengimplementasikan dan evaluasi serta pengendalian proses pembangunan dan pelayanan masyarakat sangat ditentukan oleh faktor kelembagaan, ketatalaksanaan, sumber daya manusia, aparatur dan dukungan sarana dan prasarana yang tersedia.

Sorotan tajam tentang kinerja birokrasi dalam menyelenggarakan pelayanan publik menjadi wacana yang aktual dalam studi administrasi negara akhir-akhir ini. Hal ini disebabkan oleh rendahnya kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan dan pada sisi lain munculnya konsep privatisasi, swastanisasi, kontak kerja yang pada intinya ingin meminimalkan campur tangan pemerintah yang terlalu besar dalam pelayanan publik (Savas, 1983, Osborne, 1992).

Studi yang dilakukan oleh Savas (1983), LAN Jawa Barat (1999) menunjukkan bahwa kinerja birokrasi dalam menyelenggarakan pelayanan publik lebih rendah ketimbang yang dilakukan oleh pihak swasta atau kelembagaan masyarakat lainnya. Bahkan Savas mengatakan bahwa tugas pemerintah adalah mengarahkan bukan mengayuh perahu. Memberikan pelayanan adalah mengayuh dan pemerintah tidaklah pandai mengayuh.

Di kalangan masyarakat masih terdapat keluhan berbagai pelayanan pemerintah (birokrasi) bahkan pameo masyarakat mengatakan bahwa kalau bisa dipersulit mengapa harus dipermudah dan bila ada pilihan lain untuk mendapat KTP selain dari Kantor Kelurahan dan Kantor Kecamatan, maka saya akan memilih ke Supermaket karena disana pegawainya ramah, suka senyum, menanyakan apa yang dapat dibantu. Sebaliknya kalau anggota warga masyarakat ke kantor Kelurahan atau Kecamatan sangat paradoksal dengan apa yang terjadi di Supermaket untuk mendapat pelayanan (Zanapiha, 1999).

Selama ini seperti yang diakui oleh Moestopadidjaja (1997) bahwa pelayanan publik oleh birokrasi cenderung dipersulit, prosedur berbelit-belit, rendahnya ketidakpastian waktu pelayanan. Gejala ini oleh Bryant dan White (1987) sebagai suatu gejala ketidak mampuan administratif, umumnya terjadi di Negara-negara sedang berkembang.

Penilaian kinerja birokrat pemerintah selama ini cenderung didasarkan pada faktor-faktor input seperti jumlah pegawai, anggaran, peraturan perundangan dan termasuk pedoman dan petunjuk teknis pelaksanaan; dan bukan pada faktor-faktor output atau outcomes-nya, misalnya tingkat efisiensi biaya, kualitas layanan, jangkauan dan manfaat pelayanan yang dirasakan oleh masyarakat. Oleh karena itu dalam praktek penyelenggaraan pelayanan publik masih terdapat berbagai masalah antara lain perbedaan antara kinerja yang diharapkan (intended perfomance) dengan praktek sehari-hari (actual perfomance), perbedaan antara tuntutan kebutuhan masyarakat dengan kemampuan pelayanan aparatur pemerintah, perbedaan antara keterbatasan sumber daya anggaran pemerintah dengan kebocoran pada tingkat pelaksanaanya (LAN Jawa Barat, (1999). Studi lainnya dilakukan oleh Hardjo Soekarto (1999) menunjukkan bahwa pelayanan publik selama ini masih menunjukkan mental model birokrat sebagai yang di layani oleh masyarakat, bukan justru sebaliknya aparat yang harus melayani masyarakat. Hal ini terjadi karena pendekatan kekuasaan birokrasi lebih dominan ketimbang keberadaan aparatur sebagai pelayan masyarakat. Kekuasaan birokrat sangat kuat sekali dan bahkan tak ada organisasi sosial kemasyarakatan yang mampu mengontrolnya sehingga praktek penyelenggaraan pelayanan publik selama ini yang menjadi beban masyarakat dan birokrat cenderunng melakukan praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Mohammad, 1999).

Sementara itu peran aparatur negara (birokrasi) sejak beberapa dekade yang lalu lebih disiarkan sebagai penyandang dua peran yaitu sebagai Abdi Negara dan sebagai Abdi masyarakat dan peran sebagai abdi negara menjadi sangat dominan ketimbang peran sebagai abdi masyarakat. Siklus pelayanan lebih berakses ke kekuasaan birokrasi ketimbang melayani masyarakat. Akibatnya aparatur cenderung melayani dirinya sendiri dan meminta layanan dari masyarakat (Thoha, 1993, Idrus, 1995). Berkaitan dengan hal ini Kaufman (1976) mengatakan bahwa tugas aparatur sebagai pelayan harus lebih diutamakan terutama yang berkaitan dengan mendahulukan kepentingan umum, mempermudah urusan masyarakat, mempersingkat waktu proses pelaksanaan urusan publik dan memberikan kepuasan publik.

Berdasarkan studi yang dilakukan LAN Sulsel (1997) menunjukkan bahwa pelayanan aparat birokrat terhadap masyarakat/ dunia usaha masih menimbulkan ekonomi biaya tinggi (high cost economy). Hal ini dapat dilihat dari terdapatnya 4.396 jenis pungutan yang dilakukan aparatur mulai dari tingkat pusat sampai tingkat daerah. Dari jumlah pungutan tersebut, sekitar 27% dari total biaya produksi dialokasikan untuk memperoleh pelayanan aparatur. Hal ini menunjukkan birokrat menjadi penghambat bagi tumbuhnya daya asing masyarakat itu sendiri.

Tjokroamidjojo (1988) mengidentifikasi ada empat faktor besar yang menghambat efisiensi administrasi negara (birokrasi), yaitu : (1) kecenderungan membengkaknya birokrasi baik dalam arti struktur maupun luasnya campur tangan terhadap kehidupan masyarakat, (2) lemahnya kemampuan manajemen pembangunan baik dalam perencanaan, pelaksanaan, koordinasi, dan pengawasan, dan (3) rendahnya produktivitas pegawai negeri. Sementara Siagian (1987), mengidentifikasikan ada tiga jenis kelemahan yang melekat pada pegawai negeri (birokrat) kita, adalah (1) kemampuan manajerial, yaitu kurangnya kemampuan memimpin, menggerakkan bawahan, melakukan koordinasi dan mengambila keputusan, (2) kemampuan teknis, yaitu kurangnya kemampuan untuk secara terampil melakukan tugas-tugas, baik yang bersifat rutin, maupun yang bersifat pembangunan, dan (3) kemampuan teknologis, yaitu kurangnya kemampuan untuk memanfaatkan hasil-hasil penemuan teknologi dalam pelaksanaan tugas.

Penelitian LAN Perwakilan Sulawesi Selatan (2000) tentang tingkat kemampuan tenaga perencana Pembangunan di Kawasan Timur Indonesia menunjukkan bahwa kemampuan tenaga perencana pembangunan masih rendah. Hal ini disebabkan karena kurangnya iklim organisasi yang mendukung berkembangnya kemampuan pegawai, tak ada kebijakan tentang jabatan fungsional perencana dan rendahnya penghargaan pemerintah terhadap jabatan tersebut sehingga motivasi tenaga perencana untuk mengembangkan diri masih rendah.

Studi lain adalah yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada di Kalimantan Timur menunjukkan bahwa profesionalisme pegawai rendah, baik dilihat dari tingkat pendidika, pengalaman, produktivitas kerja, ataupun disiplin kerja terbukti rendah (PPK-UGM, 1991/1992:2). Penelitian yang sama oleh FISIPOL-UGM pada kantor Bappeda di Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Lombok menemukan bahwa penampilan Bappeda sangat dipengaruhi oleh para aparatnya dalam menjalankan fungsi-fungsi perencanaan, koordinasi, monitoring dan evaluasi; juga oleh tingkat profesionalisme pegawai, organisasi dan mutu kepemimpinan dalam lembaganya (FISIPOL-UGM, 1991:4).

Studi empiris lain yang berkaitan dengan kinerja organisasi pemerintah dilihat dari pendekatan proses misalnya penelitian yang dilakukan oleh Baddu (1994), suatu analisis tentang prestasi kerja dan hubungannya dengan kepuasaan dan semangat kerja pada Kantor Setwilda Tk. I Sul-Sel, penelitian yang dilakukan oleh Thahir, M.M. (1997), suatu analisis tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kepuasan kerja pegawai pada kantor Kopertis Wilayah IX Ujung Pandang.

Beberapa penelitian empiris di atas baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun yang dilakukan oleh kalangan akademik menunjukkan bahwa penelitian tentang kinerja birokrasi pemerintah dilihat dari sudut pendekatan proses masih bersifat parsial, yaitu hanya berkaitan dengan analisis pada tingkat individu pegawai, tetapi belum melihat secara komprehensif dari sudut kinerja birokrasi pemerintah secara keseluruhan.

Semua ini menunjukkan bahwa kerja birokrasi dalam menyelenggarakan pelayanan publik masih memerlukan kajian yang mendalam dan sungguh-sungguh sehingga peran birokrasi sebagai instrumen masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan dapat diwujudkan.
Kasus pelayanan pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten khususnya di Kabupaten Bone menarik dikaji terutama yang berkaitan dengan perumusan kebijakan, implementasi, pengendalian dan evaluasi melibatkan birokrat daerah (lokal).

Disamping itu pula pelayanan pendidikan ini menyentuh kebutuhan seluruh masyarakat.
Penelitian ini diarahkan untuk mengevaluasi dan menjelaskan fenomena kinerja birokrasi pemerintah kasus pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone dengan menggunakan pendekatan proses (internal process approach), terutama memahami dan menjelaskan fenomena dalam hal efisiensi pelayanan, kerja, kerjasama tim, dan hubungan pimpinan dengan bawahan. Variabel kinerja ini penting diteliti karena didasarkan atas alasan bahwa kinerja output yang diberikan kepada lingkungan akan sangat tergantung pada tinggi rendahnya kinerja proses. Hal ini berarti organisasi birokrasi pemerintah tak dapat meningkat kebertanggungjawabannya (accountability), kepercayaan, menciptakan keadilan, efektivitas eksternal dan kepuasan masyarakat sebagai indikator kinerja eksternalnya tanpa memiliki kinerja internal yang baik.



B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kinerja birokrasi pemerintah khususnya berkaitan dengan efesiensi organisasi, kerjasama tim, dan hubungan pimpinan dengan bawahan pada Dinas Pendidikan di Kabupaten Bone ?
2. Faktor apa yang mendukung dan menghambat kinerja birokrasi pemerintah khususnya berkaitan dengan efesiensi pelayanan, kerjasama tim, dan hubungan pimpinan dengan bawahan pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone ?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui kinerja birokrasi pemerintahan khususnya berkaitan dengan efesiensi organisasi, kerjasama tim, dan hubungan pimpinan dengan bawahan pada Dinas Pendidikan di Kabupaten Bone
2. Untuk mengetahuai faktor yang mendukung dan menghambat kinerja birokrasi pemerintah khususnya berkaitan dengan efesiensi pelayanan, kerjasama tim, dan hubungan pimpinan dengan bawahan kasus pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone

D. Manfaat Penelitian
1. Secara akademik; sebagai bahan informasi bagi peneliti lain yang mengkaji kinerja birokrasi pemerintah pada masa yang akan datang .
2. Secara metodologi; penelitian ini memperkaya indikator pengukuran tentang kinerja birokrasi pemerintah khususnya dilihat dalam sudut pandang pendekatan proses.
3. Secara praktis; penelitian ini dapat menjadi bahan untuk evaluasi kinerja instansi Pemerintah khususnya Dinas Pendidikan Kabupaten Bone dalam menyempurnakan dan meningkatkan kualitas pelayanan publik pada masa datang.
Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU KONSUMEN DALAM PEMBELIAN TELEPON SELULER (PM-10)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan teknologi informasi dan globalisasi yang begitu pesat, berdampak semakin tingginya persaingan memperebutkan pangsa pasar pada dunia usaha saat ini. Perusahaan yang ingin berhasil dalam persaingan pada era millinium harus memiliki strategi perusahaan yang dapat memahami perilaku konsumen. Perusahaan yang baik adalah memahami betul siapa konsumennya dan bagaimana mereka berperilaku. Pemahaman mengenai siapa konsumennya akan menuntun para pengusaha kepada keberhasilan memenangkan persaingan dunia usaha yang telah melampaui batas negara.

Dunia teknologi informasi memang selalu menarik untuk diamati, terutama yang berkaitan dengan telekomunikasi. Ini ditandai dengan perkembangan internet, kemudian disusul dengan teknologi telepon seluler yang begitu cepat dan canggih sehingga setiap orang tertarik untuk memiliki. Sekarang ini setiap orang tidak hanya memiliki suatu produk karena fungsinya saja, tetapi juga rasa bangga dan pengakuan yang didapatkan dari memiliki produk tersebut.

Teknologi dalam telepon seluler merupakan salah satu daya tarik untuk menarik perhatian konsumen untuk membeli. Desain atau model unik serta teknologi yang digunakan seperti kamera, bunyi panggilan serta fasilitas yang dapat berinternet merupakan daya tarik untuk mempengaruhi perilaku konsumen. Seperti yang dilakukan oleh perusahaan telepon seluler NOKIA yang memiliki keunggulan dalam hal desain/model dibandingkan dengan pesaing-pesaingnya seperti MOTOROLA, ERICCSON (kemudian merger dengan SONY menjadi SONY ERICCSON), SAMSUNG dan SIEMENS

Desain yang beda dan unik tetapi tidak lagi di monopoli oleh NOKIA tetapi perusahaan Korea Selatan SAMSUNG perusahaan ini sudah mulai memasuki pangsa pasar telepon seluler setelah perusahaan ini telah memasuki pangsa pasar komputer hingga mesin cuci. Desain SAMSUNG dikembangkan oleh peneliti-penelitinya dengan desain yang lebih canggih sehingga menghasilkan telepon seluler yang gaya dan lucu yang dikemas untuk golongan anak muda. Bahkan sekarang SAMSUNG mengembangkan desain ”generik” yang dapat menggambarkan identitas SAMSUNG sehingga konsumen melihat telepon seluler, mereka akan berkata ”oh, itu pasti SAMSUNG”

Perkembangan telepon seluler dengan teknologi informasi yang digunakan serta desain dan model telepon seluler, ditandai dengan peningkatan penjualan setiap tahunnya. Di mana tahun 2004 telepon seluler telah dilempar ke pasar sebesar 194,3 juta unit telepon seluler. Angka tersebut menunjukkan pertumbuhan sebesar 18,1 persen dibandingkan pada kuartal ketiga tahun 2004 dan naik 24 persen dari tahun 2003.

Peningkatan penjualan telepon seluler yang cukup pesat, dapat dilihat strategi pemasaran perusahaan-perusahaan telepon seluler dalam mengubah perilaku untuk membeli telepon seluler mereka. Salah satu dengan melakukan promosi dengan iklan. Karena menurut seorang biro iklan mengatakan bahwa pengaruh iklan terhadap peningkatan penjualan cukup besar, walaupun belum ada suatu riset yang mengatakan bahwa seberapa persen pengaruh iklan terhadap peningkatan penjualan.

Salah satu pemimpin pasar telepon seluler dunia NOKIA dalam strategi pemasarannya selain menggunakan iklan sebagai promosi, salah satunya yaitu dengan mengamati pola perilaku konsumen dan menarik konsumen atau memberikan kemudahan dan tawaran kepada konsumennya dengan membentuk suatu komunitas yang disebut CLUB NOKIA. Komunitas ini dijadikan sebagai senjata oleh NOKIA untuk mempertahankan dan meningkatkan penjualannya, dimana sesama pengguna NOKIA dapat saling berinteraksi dan tentunya memperoleh sesuatu yang tidak bisa didapatkan oleh konsumen pengguna telepon seluler merek lain dan bisa juga menarik konsumen untuk memiliki telepon seluler NOKIA dengan informasi dari komunitas ini.

Perusahaan telepon seluler yang memasarkan produknya dengan persaingan yang semakin sulit, sudah seharusnya memperhatikan perilaku dari target konsumen seperti yang dilakukan NOKIA seperti, gaya hidup, tingkat harga, kualitas produk, model dan lain sebagainya. Yang penting bagaimana perusahaan bisa memposisikan produk mereka di mata konsumen dan harus bisa dibedakan dengan produk lain yang sejenisnya.

Dalam perkembangan konsep pemasaran mutakhir konsumen ditempatkan sebagai sentral perhatian bagi perusahaan. Adu dua alasan mengapa konsumen sebagai titik sentral perhatian pemasaran. Pertama, sebagai titik sentral konsumen, perusahaan juga harus mempelajari apa yang dibutuhkan dan diinginkan konsumen merupakan hal yang sangat penting. Untuk mengetahui keinginan dan kebutuhan konsumen, maka aspek-aspek yang mempengaruhi konsumen secara individu seperti persepsi, cara memperoleh informasi, sikap, demografi, kepribadian dan gaya hidup konsumen perlu dianalisis. Selain juga dianalisis aspek lingkungan seperti budaya, kelas sosial, proses komunikasi, keluarga dll yang semuanya bisa mempengaruhi perilaku konsumen. Kedua, bagaimana perusahaan dapat mengomunikasikan produk kepada konsumen, sehingga konsumen mengetahui tentang produk tersebut.

Memahami perilaku konsumen harus selalu dilakukan sesuai dengan perkembangan teknologi informasi, tanpa kerangka yang jelas mereka tidak akan memberikan informasi yang akurat untuk membuat strategi pemasaran
Perusahaan dalam memasarkan produknya kepada konsumen dengan menggunakan stimulus-stilmulus pemasaran seperti iklan dan sejenisnya seperti promosi, hubungan masyarakat, publisitas, penjualan pribadi dan pemasaran langsung.
Iklan merupakan salah satu sarana untuk mempengaruhi massa juga merupakan alat komunikasi antara perusahaan dengan konsumen, konsumen perlu mengetahui apa saja keunggulan produknya dengan produk yang lain.

Dalam proses mengomunikasikan produk ke pasar konsumen, sangat perlu diperhatikan oleh perusahaan yaitu slogan dan tema yang harus disampaikan seperti slogan iklan Nokia Connecting People. Persoalan ini penting karena berkaitan dengan perusahaan yang memposisikan produknya di mata konsumen.

Pembuatan iklan yang menggunakan slogan atau tema tertentu untuk mempersuasi konsumen. Pesan yang efektif dalam suatu iklan dan memberikan satu taraf ingatan terhadap nama produk atau merek. Jika seseorang mengatakan ”kesan pertama begitu menggoda” selanjutnya akan mengubah perilaku konsumen untuk membeli produk tersebut.

Perusahaan juga biasanya memasang tokoh yang berkompeten terhadap barang yang diiklankan seperti seorang artis. Misalnya seorang artis yang menjadi idola konsumen memakai produk yang diiklankan. Ketika iklan itu disampaikan kepada masyarakat atau konsumen, maka akan banyak konsumen langsung terpengaruh dan membeli produk itu dengan harapan produk yang dipakai oleh konsumen sama dengan tokoh atau artis yang menjadi idola konsumen.

Dalam pembuatan iklan, produsen bertindak sebagai sosok yang memiliki kekuatan yang luas biasa untuk menyuntikkan pesan-pesan yang terkadang penuh dengan tipuan dengan tujuan mendapatkan konsumen yang sebesar-banyaknya.
Pesan yang masuk ke dalam diri konsumen hanya menggunakan satu langkah yaitu dengan menggunakan media langsung ke konsumen. Iklan yang dipasang di media, baik media cetak atau elektronik akan dengan mudah membius konsumen, jika konsumen lengah maka akan mudah terkecoh oleh iklan yang dipasang, kemudian secara langsung mengubah perilakunya sesuai dengan yang diharapkan oleh pengiklan dan perusahaan.

Iklan sebagai bagian dari promotion mix telah menjadi bagian telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat di dunia. Dimana sejak kita bangun tidur telah diterpa produk iklan. Iklan memang sudah menjadi hal yang sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari.

Pesan yang disampaikan melalui media memiliki kekuatan yang maha besar untuk membentuk perilaku, pandangan atau tindakan dari khalayaknya. Maka tak jarang produk yang laku di pasaran adalah produk yang kemasan iklannya bagus, slogannya mudah diingat, model iklannya terkenal, berhasil mempersuasi penonton dan intesitas yang cukup tinggi, sehingga masyarakat secara tidak sadar menelan mentah-mentah isi dari iklan tersebut tanpa mempertimbangan terlebih dahulu.

Periklanan diakui atau tidak sekarang telah menjadi bagian dari sebuah sistem perekonomian. Karena perusahaan yang ingin mengiklankan produknya menggunakan biro iklan untuk membuat iklan dan media sebagai penyampai pesan iklan seperti surat kabar, televisi dan sebagainya. Sehingga semakin terbukanya pekerjaan yang lahir dari fenomena dari iklan.

Keberhasilan dari suatu perekonomian secara nasional banyak ditentukan oleh kegiatan-kegiatan periklanan seperti negara tetangga kita Singapura, dimana kegiatan periklanan dalam menunjang usaha penjualan yang menentukan kelangsungan hidup produksi pabrik-pabrik, terciptanya lapangan kerja, serta adanya hasil yang menguntungkan dari uang yang diinvestasikan.
Pada dasarnya periklanan adalah bagian dari kehidupan industri modern dan hanya bisa ditemukan di negara-negara maju atau negara yang tengah mengalami perkembangan ekonomi secara pesat. Kehidupan dunia modern kita saat ini sangat tergantung pada iklan, tanpa iklan produsen dan distributornya tidak akan dapat menjual barangnya, sedangkan disisi lain para pembeli tidak akan memiliki informasi yang memadai mengenai produk barang atau jasa yang tersedia di pasar. Jika itu terjadi maka dunia industri dan perkonomian modern pasti akan lumpuh. Jika sebuah perusahaan mempertahankan tingkat keuntungan, maka ia harus melangsungkan kegiatan-kegiatan periklanan secara memadai dan terus menerus.

Komunikasi periklanan di Indonesia belum lama berkembang, namun secara signifikan sistem tersebut telah memberikan pengaruh terhadap perekonomian nasional baik secara makro dan mikro.

Dalam tataran perekonomian secara makro keberadaan periklanan sangat penting bagi denyut perekonomian bangsa ini. Dengan adanya kegiatan komunikasi periklanan yang melibatkan dana sangat besar, periklanan ikut menggerakkan roda perekonomian. Dan secara bersamaan ia menjadi sistem tersendiri yang memiliki keterkaitan dan pengaruh terhadap sistem-sistem yang lain. Sedangkan dalam tataran mikro, iklan membantu kegiatan perusahaan khususnya dalam bidang pemasaran. Sedangkan dari segi konsumen, melalui iklan mereka mendapat informasi mengenai suatu produk.

Dari fenomena-fenomena di atas penjualan telepon seluler yang begitu pesat, maka penulis mencoba mengungkapkan pengaruh media massa terutama iklan media cetak yang mempengaruhi perilaku konsumen serta faktor-faktor lain yang mempengaruhi dalam pembelian telepon seluler di Makassar.

B. Rumusan Masalah.
1. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen dalam membeli telepon seluler dengan memilih merek tertentu ?
2. Apakah iklan yang menggunakan media cetak (surat kabar dan majalah) efektif untuk mengubah perilaku konsumen dalam pembelian telepon seluler?

C. Tujuan penelitian
1. Untuk mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen dalam membeli telepon seluler dengan merek tertentu.
2. Untuk menganalisis iklan yang menggunakan media cetak (majalah dan surat kabar) untuk memgubah perilaku dalam pembelian telepon seluler.

D. Kegunaan Penelitian
1. Menambah pengetahuan dan wawasan kelimuan tentang media khususnya tentang iklan media cetak dan perilaku konsumen.
2. Untuk memperkaya khasanah penelitian yang ada serta dapat digunakan sebagai perbandingan penelitian berikutnya.

Analisis Pengaruh Utang Luar Negeri (Foreign Debt) dan Penanaman Modal Asing (PMA) terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (EP-03)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia sebagai negara yang sedang membangun, ingin mencoba untuk dapat membangun bangsa dan negaranya sendiri tanpa memperdulikan bantuan dari negara lain. Tentu ini pernah dicoba. Namun ternyata Indonesia sulit untuk terus bertahan ditengah derasnya laju globalisasi yang terus berkembang dengan cepat tanpa mau menghiraukan bangsa yang lain yang masih membangun. Dalam kondisi seperti ini, Indonesia akhirnya terpaksa mengikuti arus tersebut, mencoba untuk membuka diri dengan berhubungan lebih akrab dengan bangsa lain demi menunjang pembangunan bangsanya terutama dari sendi ekonomi nasionalnya.

Menurut Boediono (1999:22), pertumbuhan ekonomi merupakan tingkat pertambahan dari pendapatan nasional. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi merupakan sebagai proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang dan merupakan ukuran keberhasilan pembangunan.

Indonesia sebenarnya pernah memiliki suatu kondisi perekonomian yang cukup menjanjikan pada awal dekade 1980-an sampai pertengahan dekade 1990-an. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Indonesia, pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak tahun 1986 sampai tahun 1989 terus mengalami peningkatan, yakni masing-masing 5,9% di tahun 1986, kemudian 6,9% di tahun 1988 dan menjadi 7,5% di tahun 1989. Namun pada tahun 1990 dan 1991 pertumbuhan ekonomi Indonesia mencatat angka yang sama yakni sebesar 7,0%, kemudian tahun 1992, 1993, 1994, 1995, dan 1996, masing-masing tingkat pertumbuhan ekonominya adalah sebesar 6,2%, 5,8%, 7,2%, 6,8%, dan 5,8%. Angka inflasi yang stabil, jumlah pengangguran yang cukup rendah seiring dengan kondusifnya iklim investasi yang ditandai dengan kesempatan kerja yang terus meningkat, angka kemiskinan yang cukup berhasil ditekan, dan sebagainya. Namun, pada satu titik tertentu, perekonomian Indonesia akhirnya runtuh oleh terjangan krisis ekonomi yang melanda secara global di seluruh dunia. Ini ditandai dengan tingginya angka inflasi, nilai kurs Rupiah yang terus melemah, tingginya angka pengangguran seiring dengan kecilnya kesempatan kerja, dan ditambah lagi dengan semakin membesarnya jumlah utang luar negeri Indonesia akibat kurs Rupiah yang semakin melemah karena utang luar negeri Indonesia semuanya dalam bentuk US Dollar.
Adanya kerapuhan Indonesia tersebut disebabkan dengan tidak adanya dukungan mikro ekonomi yang kuat. Permasalahan yang masih tidak dapat diselesaikan sampai saat ini adalah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang terlalu tinggi di Indonesia, sumber daya manusia Indonesia kurang kompetitif, jiwa entrepreneurship yang kurang, dan sebagainya (Anggito Abimanyu. 2000:8).

Meningkatnya pertumbuhan investasi di Indonesia dimulai dengan ditetapkannya Undang-Undang No.1 / tahun 1967 tentang penanaman modal asing (PMA) dan Undang-Undang No.6 / tahun 1968 tentang penanaman modal dalam negeri (PMDN). Dengan diberlakukannya Undang-undang tersebut diharapkan dapat mendorong peningkatan investasi di Indonesia dari waktu ke waktu yang kemudian menciptakan iklim investasi yang kondusif selama proses pembangunan di Indonesia.

Arus masuk modal asing (capital inflows) juga berperan dalam menutup gap devisa yang ditimbulkan oleh defisit pada transaksi berjalan. Selain itu, masuknya modal asing juga mampu menggerakkan kegiatan ekonomi yang lesu akibat kurangnya modal (saving investment gap) bagi pelaksanaan pembangunan ekonomi. Modal asing ini selain sebagai perpindahan modal juga dapat memberikan kontribusi positif melalui aliran industrialisasi dan modernisasi. Akan tetapi apabila modal asing tersebut tidak dikalola dengan baik dapat menimbulkan dampak negatif yang besar terutama apabila terjadinya capital flows reversal (Zulkarnaen Djamin, 1996: 26).

Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa utang luar negeri turut mendukung terjadinya krisis ekonomi di Indonesia pada pertengahan tahun 1997. Pada dasarnya, dalam proses pelaksanaan pembangunan ekonomi di negara berkembang seperti di Indonesia, akumulasi utang luar negeri merupakan suatu gejala umum yang wajar. Hal tersebut disebabkan tabungan dalam negeri yang rendah tidak memungkinkan dilakukannya investasi yang memadai sehingga banyak pemerintah negara yang sedang berkembang harus menarik dana dan pinjaman dari luar negeri. Selain itu, defisit pada neraca perdagangan barang dan jasa yang tinggi berhubungan juga dengan dilakukannya impor modal untuk menambah sumber daya keuangan dalam negeri yang terbatas.

Bagi negara berkembang termasuk Indonesia, pesatnya aliran modal merupakan kesempatan yang bagus guna memperoleh pembiayaan pembangunan ekonomi. Dimana pembangunan ekonomi yang sedang dijalankan oleh pemerintah Indonesia merupakan suatu usaha berkelanjutan yang diharapkan dapat mewujudkan masyarakat adil dan makmur sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, sehingga untuk dapat mencapai tujuan itu maka pembangunan nasional dipusatkan pada pertumbuhan ekonomi. Namun karena keterbatasan sumber daya yang dimiliki (tercermin pada tabungan nasional yang masih sedikit) sedangkan kebutuhan dana untuk pembangunaan ekonomi sangat besar. Maka cara untuk mencapai pertumbuhan ekonomi itu adalah dengan berusaha meningkatkan investasi.

Pada pertengahan dekade 1980-an, modal asing yang masuk ke Indonesia masih didominasi oleh investasi langsung atau penanaman modal asing (PMA) dan pinjaman luar negeri (terutama pinjaman pemerintah). Baru setelah pemerintah melakukan deregulasi di sektor keuangan/perbankan yang dimulai sejak awal 1980-an, yang antara lain membuat sektor tersebut, termasuk pasar modal, berkembang dengan pesat, arus modal swasta jangka pendek dari luar negeri mulai mengalir ke dalam negeri.
Penanaman Modal Asing (PMA) sendiri, berdasarkan data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), sampai akhir Juli 2006 meningkat menjadi US$ 3.713.4 juta dengan realisasi proyek yang telah disetujui pemerintah sebanyak 563 proyek.
Berdasarkan uraian tersebut di atas tidak dapat dipungkiri bahwa berbagai komponen dalam neraca pembayaran turut mempengaruhi keadaan perekonomian di suatu negara. Negara-negara yang umumnya merupakan negara yang sedang berkembang masih terus berusaha untuk menyempurnakan ekonomi internasionalnya (Hady Hamdy, 2001: 42).

Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan diatas, Penulis mencoba untuk membahas masalah pertumbuhan ekonomi di Indonesia dalam hubungannya dengan utang luar negeri (foreign debt) dan penanaman modal asing (PMA) dengan mengangkat judul “Analisis Pengaruh Utang Luar Negeri (Foreign Debt) dan Penanaman Modal Asing (PMA) terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia”.


1.2 Perumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka Penulis terlebih dahulu mengemukakan permasalahan yang menjadi objek analisis penelitian. Sehubungan dengan hal tersebut, Penulis mengidentifikasikan permasalahannya sebagai berikut :
a. Bagaimana pengaruh utang luar negeri (foreign debt) terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia?
b. Bagaimana pengaruh penanaman modal asing (PMA) terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia?

1.3 Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap permasalahan yang menjadi objek penilitian yang masih perlu diuji dan dibuktikan secara empiris tingkat kebenarannya dengan menggunakan data-data yang berhubungan.
Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka Penulis membuat hipotesis sebagai berikut :
a. Utang Luar Negeri (Foreign debt) berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, ceteris paribus.
b. Penanaman Modal Asing (PMA) berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, ceteris paribus.

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
a. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan Penulis dalam melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut :
• Untuk mengetahui pengaruh Utang Luar Negeri (foreign debt) terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.
• Untuk mengetahui pengaruh Penanaman Modal Asing (PMA) terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.

b. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Sebagai masukan bagi pemerintah terutama bagi instansi-instansi terkait.
2. Sebagai masukan bagi masyarakat Indonesia agar dapat mengetahui kondisi perekonomian Indonesia yang berhubungan dengan utang luar negeri dan PMA.
3. Untuk menambah wawasan Penulis dalam perekonomian Indonesia khususnya yang berhubungan dengan utang luar negeri dan penanaman modal asing.
4. Sebagai referensi bagi peneliti lain yang sedang meneliti topik yang berkaitan dengan penelitian ini.

Untuk mendapatkan koleksi Judul Tesis Lengkap dan Skripsi Lengkap dalam bentuk file MS-Word, silahkan klik download
Atau klik disini